Sebuah kecenderungan klasik, sepanjang sejarah manusia, bahwa konflik-konflik intelektual besar, acapkali terjadi karena adanya pemisah, sebutlah misalnya, iman yang terpisah dengan rasio, serta EQ yang tercerai dari IQ.
Tahun 1988 hingga 1994, Ary GA. menjadi staf pengajar sebuah perguruan tinggi di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dia selalu mengamati bahwa tidak ada satupun mata kuliah yang mengajar pentingnya kecerdasan emosi yang mampu mengalirkan sikap-sikap: integritas, komitmen, visi serta kemandirian yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh para pemberi kerja atau mahasiswa saat itu. Ini mengisyaratkan, betapa masih rendah kesadaran dan apresiasi tentang hal tersebut dijajaran dunia pendidikan.
Ary GA. pernah membangun sebuah perusahaan yang bergerak di bidang telekomunikasi dan perdangangan, khususnya bidang usaha pemasaran radio panggil dan pemasaran telepon genggam GSM. Beberapa karyawan yang ia rekrut adalah lulusan kampus tempat ia mengajar dan usia mereka umumnya relatif masih muda. Saat itu usia Ary masih muda, dan ia lebih senang memilih karyawan yang usianya pun lebih muda atau maksimal seusia dengannya, karena hal tersebut lebih memudahkan dalam memberi pengajaran pada mereka.
Permasalahan yang dia hadapi saat itu adalah komitmen, integritas, semangat, kreativitas dan konsistensi dari para karyawannya. Bagi dia, untuk mengajari mereka tentang tata cara mengirim berita lewat radio panggil; menghitung pemasukan dan pengeluaran; menghafal daftar harga; cara memasang dan menghidupkan telepon genggam; adalah hal yang relatif mudah. Paling sulit adalahh bagaimana mengajarkan mereka untuk memiliki kecerdasan emosi serta memberi pengertian kepada mereka bahwa keberadan EQ (Kecerdasan Emosi) tersebut amatlah penting bagi nasib mereka kelak.
Pada devisi pemasaran, kesulitan ini amat terasa ketika mereka diharapkan mampu mencapai target yang telah ditentukan oleh bagian keuangan agar dapat menutup semua biaya yang dikeluarkan. Kemampuan yang mereka miliki aalah kemampuan berhitung, sedikit kemampuan mengoperasikan komputer, juga bahasa Inggris yang belum lancar. Tidak ada kepercayaan diri, apalagi semangat. kepercayaan diri, samangat dan cita-cita, seakan dipendam dalam-dalam, takut melihat kenyataan dilapangan yang sangat keras. Sulitnya mencari pekerjaan, kerasnya persaningan dunia usaha dan beratnya antar pencari kerjam itulah 'persepsi' yang ada dikepala mereka saat itu.
Hal ini sangat menyulitkan bagi Ary. Menggantikan mereka dengan tenaga yang lebih profesional, dia tidak mampu membayar. Lagi pula, kapan mereka bisa diberi kesempatan bekerja? Kemudian dia ambil langgah dramatis, setiap pagi sebelum memulai pekerjaan, dia akan training yang dia namakan "morning briefing". Memakan waktu lebih kurang 30 menit setiap pagi selama dua tahun berturut-turut. Materi yang ia berikan bukannlah masalah teknis, tetapi tentang komitmen, integritas, berfikir merdeka, visi, arti kerja keras, daya tahan serta kreativitas. Diluar dugaan , hasilnya sangat mengejutkan: Perusahaannya saat itu merebut juara satu pemasaran GSM Telkomsel di wilayah Bali selama dua tahun berturut-turut., bahkan memperoleh piagam penghargaan resmi dari direktur Telkomsel pada saat itu, Garuda Sugardo dan Rudiantara. Perusahaannya kami juga mampu mengalahkan perusahaan-perusahaan raksasa yang berpengalaman dan bermodal kuat yang datang dari Jakarta. Untuk bisnis distribusi kartu telepon mengetik, kembali perusahaannya menjadi distributor terbesar diprovinsi Bali, yang ditandai dengan penandatangaan MoU (Memorandum of Understanding) dengan Kepala Wilayah Telekomunikasi VIII Bali saat itu, Gede Wiryanata.
Untuk bisnis radio panggil Easy Call di Bali, yang semula ia hanya bertindak sebagai agen pemasaran saja, akhirnya diberi kepercayaan untuk memegang kendali penuh manajemen Easy Call di Bal. Hal ini ditandai dengan penandatanganan kontrak (take over) seluruh aset dan karyawan mereka di Bali. Mitranya itu adalah sebuah perusahaan asing dari Australia. Mengambil hikmah dari pengalaman yang ia alami itu, ia berkesimpulan bahwa keberadaan EQ memeng mutlak diperlukan. Eksistensiny yang dulu belum mampu 'dilihat' oleh orang-orang kebanyakan, kii dinilai patut disejajarkan bahkan berada di atas IQ.
Para cendikiawan telah menghabiskan waktu lebuh dari dua puluh tahun untuk meniliti permasalahan seputar ini, sepertisitem kemanusiaan, pembelajaran transformasi, dan keefektifan pribadi. Sebutlah Robert K Cooper PhD, dengan pendapatnya yang mengutip kata-kata Robert Frost: "Apa yang mereka tinggalkan dibelakang dan acapkali mereka lupakan adalah aspek yang disebut oleh Robert Frost sebagai aspek 'hati'." Hal ini diperkuat oleh pendapat seorang psikolog dari Yale, Robert Stenberg, seorang ahli dalam bidang Successful Inteligence yang mengatakan: "Bila IQ yang berkuasa, ini karena kita membiarkannya berbuat demikian. Dan bila kita membiarkannya berkuasa, kita telah memilih penguasa yang buruk." (Damasio, Descarte' Error: Emotion, Reason, and The Human Brain, mengutip Robert K Cooper, PhD dan Ayman Sawaf, Executive EQ: Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1998), hal. xiv.) Pakar tersebut juga mengemukakan beberapa hal lain, sebagai berikut: "Salah satu sikap paling membahayakan yang telah dilestarikan oleh budaya kerja modern saat ini adalah bahwa kita tidak boleh, dalam situasi apa pun, mempercayai suara hati kita. Kita dibesarkan untuk meragukan diri sendiri, untuk tidak mempedulikan intuisi serta mencari peneguhan dari luar bagi berbagai hal yang kita perbuat. Kita dikondisikan mengandaikan bahwa orang lain lebih tahu daripada kita dan dapat memberitahu kebenaran sejati dengan lebih jelas dibanding yang dapat kita ketahui sendiri. Hal ini akan kembali mendapat pengokohan bukti dari: survei yang dilakukan terhadap ribuan eksekutif, manajer dan wiraswastaan yang berhasil menunjukan bahwa sebagian besar diantar mereka (para eksekutif, manajer dan usahawan tersebut) menggantungkan diri pada dorongan suara hati sebagai sumber kecerdasan emosi dalam hampir semua keputusan dan interaksi yang diambilnya selama bertahun-tahun." (Robert K Cooper, PhD dan Ayman Sawaf, Executive EQ: Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1998), hal. 2)
Pada devisi pemasaran, kesulitan ini amat terasa ketika mereka diharapkan mampu mencapai target yang telah ditentukan oleh bagian keuangan agar dapat menutup semua biaya yang dikeluarkan. Kemampuan yang mereka miliki aalah kemampuan berhitung, sedikit kemampuan mengoperasikan komputer, juga bahasa Inggris yang belum lancar. Tidak ada kepercayaan diri, apalagi semangat. kepercayaan diri, samangat dan cita-cita, seakan dipendam dalam-dalam, takut melihat kenyataan dilapangan yang sangat keras. Sulitnya mencari pekerjaan, kerasnya persaningan dunia usaha dan beratnya antar pencari kerjam itulah 'persepsi' yang ada dikepala mereka saat itu.
Hal ini sangat menyulitkan bagi Ary. Menggantikan mereka dengan tenaga yang lebih profesional, dia tidak mampu membayar. Lagi pula, kapan mereka bisa diberi kesempatan bekerja? Kemudian dia ambil langgah dramatis, setiap pagi sebelum memulai pekerjaan, dia akan training yang dia namakan "morning briefing". Memakan waktu lebih kurang 30 menit setiap pagi selama dua tahun berturut-turut. Materi yang ia berikan bukannlah masalah teknis, tetapi tentang komitmen, integritas, berfikir merdeka, visi, arti kerja keras, daya tahan serta kreativitas. Diluar dugaan , hasilnya sangat mengejutkan: Perusahaannya saat itu merebut juara satu pemasaran GSM Telkomsel di wilayah Bali selama dua tahun berturut-turut., bahkan memperoleh piagam penghargaan resmi dari direktur Telkomsel pada saat itu, Garuda Sugardo dan Rudiantara. Perusahaannya kami juga mampu mengalahkan perusahaan-perusahaan raksasa yang berpengalaman dan bermodal kuat yang datang dari Jakarta. Untuk bisnis distribusi kartu telepon mengetik, kembali perusahaannya menjadi distributor terbesar diprovinsi Bali, yang ditandai dengan penandatangaan MoU (Memorandum of Understanding) dengan Kepala Wilayah Telekomunikasi VIII Bali saat itu, Gede Wiryanata.
Untuk bisnis radio panggil Easy Call di Bali, yang semula ia hanya bertindak sebagai agen pemasaran saja, akhirnya diberi kepercayaan untuk memegang kendali penuh manajemen Easy Call di Bal. Hal ini ditandai dengan penandatanganan kontrak (take over) seluruh aset dan karyawan mereka di Bali. Mitranya itu adalah sebuah perusahaan asing dari Australia. Mengambil hikmah dari pengalaman yang ia alami itu, ia berkesimpulan bahwa keberadaan EQ memeng mutlak diperlukan. Eksistensiny yang dulu belum mampu 'dilihat' oleh orang-orang kebanyakan, kii dinilai patut disejajarkan bahkan berada di atas IQ.
Para cendikiawan telah menghabiskan waktu lebuh dari dua puluh tahun untuk meniliti permasalahan seputar ini, sepertisitem kemanusiaan, pembelajaran transformasi, dan keefektifan pribadi. Sebutlah Robert K Cooper PhD, dengan pendapatnya yang mengutip kata-kata Robert Frost: "Apa yang mereka tinggalkan dibelakang dan acapkali mereka lupakan adalah aspek yang disebut oleh Robert Frost sebagai aspek 'hati'." Hal ini diperkuat oleh pendapat seorang psikolog dari Yale, Robert Stenberg, seorang ahli dalam bidang Successful Inteligence yang mengatakan: "Bila IQ yang berkuasa, ini karena kita membiarkannya berbuat demikian. Dan bila kita membiarkannya berkuasa, kita telah memilih penguasa yang buruk." (Damasio, Descarte' Error: Emotion, Reason, and The Human Brain, mengutip Robert K Cooper, PhD dan Ayman Sawaf, Executive EQ: Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1998), hal. xiv.) Pakar tersebut juga mengemukakan beberapa hal lain, sebagai berikut: "Salah satu sikap paling membahayakan yang telah dilestarikan oleh budaya kerja modern saat ini adalah bahwa kita tidak boleh, dalam situasi apa pun, mempercayai suara hati kita. Kita dibesarkan untuk meragukan diri sendiri, untuk tidak mempedulikan intuisi serta mencari peneguhan dari luar bagi berbagai hal yang kita perbuat. Kita dikondisikan mengandaikan bahwa orang lain lebih tahu daripada kita dan dapat memberitahu kebenaran sejati dengan lebih jelas dibanding yang dapat kita ketahui sendiri. Hal ini akan kembali mendapat pengokohan bukti dari: survei yang dilakukan terhadap ribuan eksekutif, manajer dan wiraswastaan yang berhasil menunjukan bahwa sebagian besar diantar mereka (para eksekutif, manajer dan usahawan tersebut) menggantungkan diri pada dorongan suara hati sebagai sumber kecerdasan emosi dalam hampir semua keputusan dan interaksi yang diambilnya selama bertahun-tahun." (Robert K Cooper, PhD dan Ayman Sawaf, Executive EQ: Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1998), hal. 2)
Hal
yang bertolak belakang dengan sistem pendidikan kita selama ini, terlalu
menekan pentingnya nilai akademik, kecerdasan otak (IQ) saja. Mulai dari
tingkat sekolah dasar sampai kebangku kuliah, jarang sekali dijumpai pendidikan
tentang kecerdasan emosi yang mengajarkan:integritas; kejujuran; komitmen;
visi; kreativitas; ketahanan mental; kebijaksanaan; keadilan; prinsip
kepercayaan; penguasaan diri atau sinergi, padahal justru inilah yang
terpenting. Kita bisa saksikan bersama hasil bentukan karakter serta kualitas
sumberdaya manusia era 2000 yang begitu rentan, juga krisis ekonomi 2005 yang
dimulai dengan kenaikan BBM hingga 60%. Yang paling jelas terlihat ketika monetary crisis melanda Indonesia tahun
1997. Hal tersebut ditandai oleh krisis moral atau buta hati dimana-mana. Meski mereka miliki pendidikan tinggi, pada
hakikatnya mereka hanya mengandalkan logika namun mengabaikan suara hati. Lalu
terbukti, akhirnya sang suara hati yang seringkali memberikan informasi maha
pentinglah yang benar, sehingga banyak diantara mereka yang kini terperosok,
dulunya adalah orang-orang yang telah mengabaikan suara hati yang menjadi
daasar kecerdasan emosi atau EQ.
Seperti
kata Shandel, yang dikutip oleh Ali Shariati dalam bukunya “Haji”,
bahwa bahaya terbesar yang dihadapi umat manusia pada zaman sekarang bukanlah
ledakan bom atom, tetapi perubahan fitrah. Unsur kemanusiaan dalam diri
manusialah yang sebenarnya sedang mengalami kehancuran sedemikian cepat. Hingga
yang tercipta sekarang adalah ras-ras non manusia—mesin berbentuk manusia yang
tidak sesuai kehendak Tuhan. “Mereka ibarat menjual ‘sesuatu’ namun mereka
sendiri yang harus membayar harga ‘sesuatu’ tadi; Berbasis di depan “rumah
peampok”, menanti giliran untuk diri sendiri untuk dirampok. Inilah yang secara
cerdas berhasil diamati oleh Ali Shariati (pakar sosiologi) tentang orang yang
buta hati (tidak punya hati) atau bahasa modernnya memiliki EQ yang rendah.
Berdasarkan
survei di Amerika Serikat tahun 1918 tentang IQ, ditemuukan ‘paradoks’
membayakan: “Sementara skor IQ anak-anak makin tinggi, kecerdasan emosi mereka
justru turun. Lebih mengkhawatirkan lagi, data hasil survei besar-besaran tahun
1970 dan 1980 terhadap para orang tua dan guru. Mereka mengatakan, “Anak-anak
generasi sekarang lebih sering mengalami masalah emosi ketimbang generasi
terdulunya. Secara pukul rata, anak-anak sekarang tumbuh dalam kesepian dan
depresi, mudah marah dan lebih sulit diatur, lebih gugup dan cenderung cemas; implusif dan agresif. Survei tersebut
kemudian berlanjut dengan penelitian terhadap ratusan ribu pekerja, dari juru
tulis hingga esekutif puncak. Penelitian ini mencakup perusahan-perusahaan
besar sekelas AT&T di Amerika Serikat, hingga perusahaan kecil, bahkan
wirausahaaan. Dalam pengkajiannya ditemukan bahwa inti kemampuan pribadi dan
sosial yang sama, terbukti menjadi inti utama keberhasilan (Kecerdasan Emosi).
(Daniel Goleman, Working with Emotional
Intelligence, (New York: Bantam Books, 1999), hal 19).
Saya
ingin menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan kecerdasan emosi yang
dianggap oleh banyak orang sangat menentukan keberhasilan. Hal tersebut juga
telah terbukti secara ilmiah bahwa kecerdasan emosi memegang peranan penting
dalam menentukan keberhasilan di sehala bidang. Menurut Robert K Cooper PhD, “Hati mengaktifkan nilai-nilai kita yang
terdalam, mengubahnya dari sesuatu yang kita pikirkan menjadi sesuatu yang kita
jalani. Hati mampu mengetahui hal-hal mana yang tidak boleh, atau tidak dapat
diketahui oleh pikiran kita. Hati adalah sumber keberanian dan semangat,
integritas serta komitmen. Hati adalah sumber energi dan perasaan mendalam yang
menuntut kita untuk melakukan pembelajaran, menciptakan kerjasama, memimpin
serta melayani.” (Cooper, Op. Cit., hal. xxxv (35)).
Pendidikan
agama yang semestinya dapat diandalkan dan diharapkan mampu memberi solusi bagi
permasalahan hidup ini, ternyata lebih diarti-pahami sebagai ajaran “fiqih”,
tidak dipahami dan dimaknai secara lebih dalam. Ia nelulu hanya pendekatan ritual, simbol-simbol serta pemisahan
antara kehidupan dunia dan akhirat. Saya masih ingat, ketika saya duduk di
bangku Sekolah Dasar dulu, Rukun Iman dan Rukun Islam diajarkan kepada saya
dengan cara yang sangat sederhana, hanyalah sebentuk hafalan di otak kiri,
tanpa dipahami maknanya. Padahl justru dari sanalah pembentukan Kecerdasan
Emosi dan Spiritual (ESQ) yang begitu menakjubkan itu bermula.
Hati
nurani akan menjadi pembimbing terhadap apa yang harus ditempuh dan apa yang
harus diperbuat. (HS Habib Adnan, Agama
Masyarakat dan Reformasi Kehidupan, (Denpasar: PT BP Denpasar, 1998) hal.
28). Artinya setiap manusia sebenarnya telah emiliki radar hati se bagai
pembimbing. Menurut HS Habib Adnan, kebenaran
Islam senantiasa selaras dengan suara hati manusia. Dengan demikian, agama
Islam adalah agama fitrah yang sesuai dengan kebutuhan dan dibutuhkan manusia.
(Ibid. Hal. 7). Namun memegang teguh
kata hati nurani merupakan tantangan hidup yang perlu dipertimbangkan serta
dikembangkan agar mampu menghadapi perubahan kehidupan yang demikian cepat dan
dinamis dewasa ini. (Ibid. Hal 13).
Berdasarkan pertimbangan itulah, saya mengambil kesimpulan bahwa agama Islam
pada hakikatnya mampu menjadi landasan bagi pembangunan kecerdasa emosi dan
spiritual, dimana suara hati menjadi landasan serta pusatnya.
Berikut
ini, kesimpulan para ahli disebiah penelitian ilmiah di Amerika Serikat yang
mengatakan bahwa memang telah terjadi kekeliruan dalam memahami IQ. Mereka
(para ahli tersebut) melihat kesamaan presepsi yang menggejala hampir di semua
belahan dunia—kecenderungan untuk terlalu mengagung-agungkan IQ. “Kebanyakan
program pelatihan telah berpegang pada suatu model akademis tetapi inilah
sebuah kekeliruan terbesar yang telah menghamburkan waktu serta dana yang tak
terhitung banyaknya. Apa yang diperlukan adalah cara berfikir yang sama sekali
baru, tentang apa saja yang dapat membantu orang untuk mengembangkan kecerdasan
emosi mereka.” (Goleman, Op. Cit., hal
7). Berdasarkan kondisi itulah, maka saya mencoba menjawab dan membahas secara
mendalam suatu konsep baru, tentang bagaimana membangun sebuah pemahaman sebuah
keceradasan emosi dan spiritul (ESQ), dengan mencoba memberikan pemahaman, cara
pemeliharaan, juga metode pelatihan jangka penjang yang mandiri.
KECERDASAN
EMOSIONAL—EQ
Banyak
cotoh di sekitar kita membuktikan bahwa orang yang memiliki keceradasan otak
saja, mimiliki gelar tinggi, belum tentu sukses berkiprah di dunia pekerjaan.
Seringkali justru yang berpendidikan formal lebih rendah, banyak yang ternyata mampu
lebih berhasil. Kebanyakan program pendidikan hanya berpusat pada kecerdasan
akal (IQ), padahal diperlukan pula bagaimana mengembangkan kecerdasan emosi
seperti: ketangguhan, inisiatif, optimisme, kemampuan beradaptasi. Saat ini
begitu banyak orang berpendidikan yang tampak begitu menjanjikan, mengalami
kemandekan dalam kariernya. Lebih buruk lagi, mereka tersingkir akibat
rendahnya kecerdasan emosi. Saya ingin menyampai suatu hal yang terjadi di
Amerika Seriikat tentang kecerdasan emosi. Menurut survei nasional di negara
mereka itu, apa yang diinginkan oleh para pemberi kerja adalah: keterampilan
teknik yang (menurut mereka lagi) sebagai hal yang yang tidak seberapa penting
bila dibandingkan kemampuan adaptasi (belajar) dalam pekerjaan yang
bersangkutan. Di antaranya: kemampuan mendengar dan berkomunikasi secara lisan;
adaptasi; kreativitas; ketahanan mental terhadap kegagalan; kepercayaan diri;
motivasi; kerjasama tim serta keinginan memberi kotribusi terhadap perusahaan.
(Goleman, Op. Cit., hal 14). Saya
tambahka pula pendapat seorang praktisi kaliber internasional, Linda Keegan, salah seorang Vice
President untuk pengembangan eksekutif Citibank di salah satu negara Eropa,
mengatakan bahwa kecerdasan emosi (EQ) harus menjadi dasar dalam setiap
pelatihan manajemen. (Ibid. Hal. 8).
Kemampuan
akademik, nilai raport, predikat kelulusan pendidikan tinggi tidak bisa menjadi
tolak ukur seberapa baik kinerja seseorang dalam pekerjaannya atau seberapa
tinggi sukses yang mampu dicapai. Menurut McCleland
tahun 1973 berjudul “Testing for
Competence Rather than Intelligence” dijelaskan tentang: “Seperangkat
kecakapan khusus seperti: empati; disiplin diri; dan inisiatif; akan membedakan
antara mereka yang sukses sebagai bintang kinerja dengan yang hanya sebatas
bertahan di lapangan pekerjaan. (Ibid. Hal.
19).
Saat
ini perusahaan-perusahaan raksasa dunia telah banyak menyadari hal ini. Mereka
menyimpulkan bahwa inti kemampuan pribadi menyadari hal ini. Mereka
menyimpulkan bahwa inti kemampuan pribadi dan sosial yang merupakan kunci utama
keberhasilan seseorang sesungguhnya adalah kecerdasan emosi. Hal tersebut senada
seperti yang awal gerakan berikutnya seperti social awareness adalah pemicu awal gerakan berikutnya seperti social skills, self management, dan
kemudian self awareness di squence terakhir.
Yang
menjadi masalah hanya: apakah Anda jujur pada diri Anda sendiri? Seberapa
cermat Anda merasakan perasaan terdalam pada diri Anda? Seringkah Anda tidak
mempedulikannya? Menurut hadist yang diriwayatkan oleh HR Muslim, Nabi Muhammad
saw menyatakan: “Dosa membuat hati menjadi gelisah.” Sebenarnya EQ adalah
kemampuan untuk merasa. Kunci kecerdasan emosi Anda adalah pada kejujuran suara
hati Anda. Suara hati itulah yang harusnya dijadika pusat prinsip yang mampu
memberi rasa aman, pedoman, kekuatan serta kebijaksanaan. Menurut Covey. “Di
sinilah Anda berurusan dengan visi dan nilai Anda. Disinilah Anda gunakan
anugerah Anda—kesadaran diri (self
awarness)—untuk memeriksa peta diri Anda, dan jika Anda menghargai prinsip
yang benar, maka paradigma Anda sesungguhnya berdasarkan pada prinsip dan
kenyataan dimana suara hati berperan sebagai kompasnya.” (Covey, Op. Cit., hal. 109). Namun bagaimana
cara untuk memperoleh dan mengenal suara hati sejati itu?
“Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhan-mu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhan-mulah Yang Maha Pemurah. Yang mengejarkan
kepada manusia yang tidak diketahuinya.”
-Qs
Al ‘Alaq (Segumpal Darah) 96:1—5-
ESQ (Emosional Spiritual
Quotient)
THE ESQ WAY 165
1 Ihsan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun
Islam
Ary
Ginanjar Agustian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar