Sabtu, 23 November 2013

Tantangan Untuk Pendidikan Indonesia

oleh Anies Baswedan
Hak untuk mendapatkan pendidikan termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang mewajibkan pemerintah menyediakan pendidikan yang berkualitas bagi warga negara. Ketetapan itu menjadi prioritas kedua setelah mandat untuk mensejahterakan rakyat. Menunjukkan betapa pentingnya pendidikan bagi negeri ini.
Namun, jarang sekali terdengar perdebatan yang membahas isu-isu mendasar mengenai pendidikan, seperti pemberantasan korupsi di sektor ini, peningkatkan kualitas guru dan upah mereka, serta penerapan sistem akreditasi yang lebih baik. Perdebatan yang ada lebih sering membahas isu-isu yang seharusnya sudah rampung sejak dua atau tiga dekade lalu, seperti apakah murid perlu mengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN) atau apakah mereka perlu diajari sains dan matematika sejak sekolah dasar. Nampaknya para pembuat kebijakan di sektor pendidikan selalu memiliki prioritas yang salah.




Namun, menentukan prioritas sepertinya bukan keahlian yang dimiliki birokrasi negara ini. Baru belakangan pemerintah memutuskan meningkatkan anggaran sektor pendidikan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berjanji menaikkan anggaran pendidikan sebesar 7,5% untuk tahun 2014. Bahkan setelah kenaikan tersebut, sektor pendidikan masih harus bersaing dengan sektor lainnya untuk mendapat alokasi anggaran yang lebih besar. Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pekerjaan Umum memperoleh anggaran yang lebih besar dibandingkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang berada di peringkat tiga.
Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, pemerintah menghabiskan dana yang besar untuk pendidikan agama di hampir 4.000 madrasah negeri di seluruh Indonesia. Dari total Rp 41,7 triliun rupiah yang dianggarkan untuk Kementerian Agama pada tahun 2012, sekitar Rp 31,5 triliun dialokasikan untuk pendidikan agama di bawah divisi Pendidikan Islam di kementerian tersebut. Sementara, pemerintah mengalokasikan Rp 66 triliun untuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Presiden SBY telah berjanji untuk meningkatkan anggaran bagi pendidikan. Namun, dengan mewabahnya korupsi di Indonesia, janji ‘pendidikan berkualitas untuk semua’ terdengar kosong bagi banyak warga miskin yang bergantung pada pemerintah terkait pembiayaan sekolah.
Pendidikan masih menjadi sektor paling korup di Indonesia. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW) 2011, kasus suap terbanyak berasal dari sektor pendidikan. Dari 436 kasus yang ditangani penegak hukum, 54 kasus, atau 12,4%, berhubungan dengan korupsi di sektor pendidikan.
Dari survei tersebut, ICW menemukan tingkat korupsi semakin parah seiring dengan meningkatnya anggaran pendidikan. Semakin besar anggaran, semakin besar angka korupsinya.
Yang paling menyedihkan dari kasus korupsi ini adalah, sebagian besar uang yang dicuri dialokasikan untuk warga miskin. Ini mencakup anggaran untuk dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan dana bantuan sosial yang ditujukan untuk membangun gedung sekolah di wilayah-wilayah miskin dan terpencil di Indonesia.
Orang berada mampu mengabaikan masalah ini. Anak-anak dari keluarga kaya bisa menikmati sekolah swasta atau sekolah berstandar internasional, dengan kualitas pendidikan yang setara dengan sekolah-sekolah Singapura atau Shanghai. Anak-anak dari keluarga miskin tidak memiliki pilihan lain. Mereka seringkali harus berjalan jauh ke sekolah yang terkadang atap bangunannya sudah rubuh; guru matematika mereka sering tidak dapat mengajar karena terpaksa mengambil kerja sambilan; atau lembaran ujian mereka gagal terkirim karena tersangkut di bandar udara seringkali karena akal-akalan oknum korup atau petugas dinas pendidikan yang tidak kompeten.
Sangat disayangkan bahwa masalah-masalah yang menjangkiti sistem pendidikan muncul ketika Indonesia berharap untuk memanfaatkan apa yang disebut sebagaidemographic dividend. Hampir 60 persen jumlah penduduk Indonesia berada di bawah usia 40 tahun. Yang menjadikannya sebagai salah satu negara dengan profil demografi termuda di dunia. Dengan membengkaknya jumlah kaum muda, Indonesia memiliki potensi untuk melampaui statusnya sebagai negara berkembang dan menjadi negara yang siap bersaing. Namun jumlah kaum muda yang sebagian besar tidak terdidik serta kurang terdidik justru bisa berbalik menjadi sebuah bom waktu yang siap meledak manakala pertumbuhan ekonomi negara gagal mencitpakan lapangan pekerjaan bagi mereka.
Namun selalu ada harapan. Ketika pemerintah gagal melaksanakan tugasnya, rakyat siap menanggung beban tersebut. Indonesia adalah negara yang dikenal dengan nilai gotongroyong. Masyarakat memulai inisiatif mereka dengan melatih sejumlah pengajar muda yang mau dikirim ke daerah-daerah terpencil. Ada juga yang mendirikan sekolah dengan kurikulum alternatif yang berbeda dari versi kurikulum pemerintah, yang sengaja dibuat untuk mendekatkan murid dengan alam. Sejumlah tokoh pendidikan berpendapat kurikulum pemerintah tidak memberikan porsi yang cukup untuk sains dan matematika, mereka lantas mendirikan sekolah-sekolah yang melatih ilmuwan masa depan terbaik negara ini.
Sementara pengagas pendidikan lainnya memanfaatkan kuatnya pengaruh internet dan media sosial. Awal tahun ini, sebuah situs didirikan untuk menampung keluhan-keluhan mengenai gedung sekolah mana yang membutuhkan perbaikan, atau di sekolah mana penyelewengan dana terjadi. Mereka yang melek teknologi menggunakan Twitter dan Facebook untuk memobilisasi sukarelawan membuka kelas di berbagai daerah, mengajar murid tentang hal-hal yang tidak diajarkan oleh guru mereka, yang bergaji rendah.
Di sebuah tempat di mana rakyat terbiasa mendengar janji surga, hal-hal seperti itu memberik secercah harapan.
Anies Baswedan adalah Rektor Universitas Paramadina di Jakarta dan salah satu tokoh reformasi pendidikan. Ia menjadi pengagas gerakan “Indonesia Mengajar”.  Ini adalah kolom opini yang diterjemahkan dari versi asli yang ditulis dalam Bahasa Inggris dan diterbitkan di www.online.wsj.com–

Judul Asli Tantangan dunia Pendidikan di Indonesia