Kamis, 17 Mei 2012

  • Militer AS/ilustrasi
Kebencian terhadap Islam telah dipupuk dalam benak militer AS. Bahkan, mata kuliah yang menyusupkan ajaran bahwa musuh mereka adalah Islam telah menjadi pelajaran wajib.
Mata kuliah yang disebut 'Perspectives on Islam and Islamic Radicalism' telah diajarkan sekitar lima kali dalam setahun sejak 2004, dengan sekitar 20 siswa dalam tiap pertemuan. 
Ini berarti sekitar 800 siswa telah mengambil mata kuliah ini selama bertahun-tahun sebelum akhirnya dihentikan April lalu menyusul adanya aksi protes.
''Mereka (Muslim) membenci segala hal tentang kamu (warga Amerika) dan tidak akan mau hidup berdampingan dengan kamu hingga kamu lenyap,'' ungkap sang instruktur, Letkol Matthew Dooley dalam sebuah presentasi Juli 2011 lalu, seperti dilaporkan AP.
Lembaga pendidikan untuk para personel militer profesional itu menargetkan para pegawai pemerintah dan pejabat militer level menengah. Mereka mengajarkan berbagai topik terkait perencanaan dan eksekusi perang.

* Cara Dahlan Bersih-bersih Perusahaan BUMN

Dalam rapat tersebut Dahlan mengajak mereka untuk kembali kepada spirit perjuangan ketika masih menjadi mahasiswa. "Dulu kan kita aktivis mahasiswa," katanya saat menjadi pembicara di Universitas Indonesia (UI), Rabu, 16 Mei 2012.
Dahlan kemudian mengingatkan kembali, setidaknya ada dua hal yang selalu mereka tuntut kepada pemerintah saat itu. yaitu, Jangan korupsi dan Rombak Birokrasi. "Nah mari kita lakukan itu sekarang," ajaknya dalam rapat pertama itu. "Akhirnya, semuanya sepakat untuk melakukannya."
Dahlan mengaku hal yang serupa telah ia lakukan ketika pertama menjadi Direktur Utama PLN. Dia mengajak lembaga di bawahnya untuk bekerja dengan sungguh-sungguh. "Ini sudah saya lakukan di PLN dan ketika di BUMN saya lakukan lagi," katanya.
Dahlan mengatakan sampai saat ini, para aktivis mahasiswa masih menuntut dua hal itu. Dahlan mengaku malu pada dirinya sendiri jika institusinya didemo lagi oleh mahasiswa dengan tuntutan yang sama. "Saya sangat malu kalau didemo," katanya.
Selain menghindari celah untuk praktek korupsi di institusinya. Dahlan pun harus bergegas merubah wajah birokrasi BUMN.
"Dulu saya kira birokrasi itu jarang rapat. Ternyata sangat rajin rapat dan bisa sampai pagi. Sayangnya jarang ada hasilnya," katanya.
Guna merubah gaya birokrasi, menteri Dahlan akhirnya mengurangi 50 persen rapat. Sehingga memperbanyak waktu untuk mengeksekusi hasil rapat. "Rapat yang tidak terlalu penting ditiadakan," katanya.
Selanjutnya, Dahlan melihat lembaga di bawahnya diberatkan dengan berbagai macam laporan. Membuat dan memeriksa laporan itu, menurut Dahlan membutuhkan tidak sedikit waktu. Akhirnya ia memangkas 50 persen laporan-laporan yang diwajibkan ke Kementerian BUMN. "Membuat laporan kok disebut pekerjaan," katanya.
Selain itu menteri Dahlan juga memberikan sekitar 28 kewenangan menteri BUMN ke lembaga di bawahnya. Dahlan mengaku terlalu banyak kewenangan yang ia miliki sebagai menteri. Dahlan berharap dengan kewenangan itu, birokrasi yang ia pimpin bisa berjalan cepat. "Ini yang sedang diinterpelasi di DPR," katanya.
Dahlan juga mengaku sedikit kaget saat pertama pimpin PLN. Dirinya yang tidak memiliki atasan di perusahaan swasta, tiba-tiba memiliki banyak atasan. "Saat di Jawa Pos, jangankan yang tertulis yang saya katakan saja dipatuhi," kata Dahlan.
Dahlan mengaku di PLN memiliki banyak atasan, termasuk menteri BUMN dan presiden. "Untungnya keinginan mereka berbeda-beda," katanya. Dengan begitu Dahlan bisa kembali menjdi dirinya sendiri.

Senin, 14 Mei 2012

Perempuan Cantik dan Perempuan Tua di Gunung Salak

Sejumlah pendaki dan tim SAR yang ikut dalam pencarian Pesawat Sukhoi di Gunung Salak mempunyai pengalaman cerita magis. Mulai dari melanggar larangan memetik bunga hingga mimpi bersenggama dengan perempuan cantik.
Seorang yang tergabung dalam sebuah regu pada tim yang pertama kali diterjunkan ke Gunung Salak menceritakan pengalamannya saat berada pada ketinggian 1.700 kaki, pos terakhir tak jauh dari titik kordinat pesawat jatuh, Sabtu dinihari, 12 Mei. Ia dan sekitar sembilan anggota regu lainnya bermimpi aneh saat sedang tertidur.
"Kami mimpi basah secara bersamaan," kata dia.
Anehnya, dia melanjutkan, mimpi seluruh anggota regu cukup identik. Awalnya mereka bermimpi disambut seorang wanita cantik pada sebuah rumah di puncak gunung tersebut. "Perempuan itu menyuguhi kami air minum," kata dia bercerita.
Tak lama berselang, mereka langsung diminta untuk istirahat. Tetapi di dalam rumah, ternyata ada banyak perempuan yang tak kalah cantiknya dengan yang menyambutnya tadi. Setelah itu, para perempuan itu mencumbu mereka selayaknya suami istri.
Namun ia mengaku tak heran dengan peristiwa tersebut karena Gunung Salak terkenal dengan kisah magisnya. "Yah, kami memaklumi saja."
Cerita lain dari seorang pendaki yang pernah menjelajahi Gunung Salak. Kini ia bergabung dengan tim SAR sebagai sukarelawan pencari korban Sukhoi. Menjelang pendakian, ia banyak berkonsultasi dengan masyarakat yang berada di sekitar gunung tersebut. "Banyak pantangannya," ujarnya.
Ia mengaku pernah menghiraukan pantangan penduduk untuk tidak mengambil bunga anggrek saat mendaki beberapa bulan lalu ke Gunung Salak. Maklum, kata dia, di sana banyak anggrek berbagai jenis yang cukup indah.
Tapi apa yang terjadi. Timnya tersesat saat ingin pulang. Sepanjang hari mereka hanya berputar di puncak Salak secara berulang sampai malam hari.
Anggrek itu pun di simpan di salah satu tempat, timnya kemudian shalat Isya. Setelah salat timnya kembali melanjutkan perjalanan pulang. "Ternyata jalan pulang hanya ditutupi ranting padahal kami sudah beberapa kali lewat di depan ranting itu," ujarnya seraya menggeleng kepala.
Ia juga mengaku bertemu seorang nenek-nenek berusia sekitar 80 tahun di puncak gunung tersebut. Perempuan tua yang sudah bungkuk itu berjalan sendirian di sebuah padang dengan hanya memakai pakaian tipis.
"Kami tanya mau ke mana Nek, dia bilang hanya jalan-jalan," kata dia menirukan pernyataan nenek tersebut.
Saat ditanyai di mana tempat tinggalnya, wanita tua itu hanya menjawab,"Di sini Nak." Nenek itu menolak di antar ke kaki gunung. Pendaki ini melanjutkan, perempuan tua itu lalu bilang, "Saya senang di sini karena ramai bila malam, mereka sering kasih saya makan," tanpa menyebutkan siapa mereka yang dimaksud.
Yang mengherankan lagi, kata pendaki itu, si Nenek berbahasa Jawa kental, padahal mayoritas masyarakat di kaki gunung berbahasa Sunda. "Kami pun meninggalkan nenek itu sendirian," ujarnya.

Minggu, 13 Mei 2012

Bisnis Kemiskinan yang Menjanjikan

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiIQxaicoVA-f_aX6irvXRmmRib6vO_4OcSaRpUgP138GBCcZ6DVZJ56hyphenhyphenz0_huoiu9ZUHnKrOT9wWok6in0mKDuFhwy72W-LekUXQaEoza6EMulwhqIo1_Q__1pxuz7AIhlfq_LQy59F6i/s400/Penggusuran+di+Jkt.JPGSangat mengejutkan, jika kita melihat angka kemiskinan negara Indonesia tahun 2009 yang mencapai angka 33, 7 juta jiwa. Menurut perhitungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) angka itu dapat terjadi jika ekonomi cuma tumbuh 4,5% dan inflasi lari sampai 9%. Meski angka ini dibandingkan dengan tahun 2008 tidak jauh berbeda yakni 34, 96 juta jiwa1.

Sebenarnya persoalan pengentasan kemiskinan merupakan cerita klasik yang dihadapi setiap negara, tidak terkecuali dengan Indonesia.
Kemiskinan merupakan persoalan yang sangat kompleks dan sulit ditemukan benang merahnya meski generasi kepemimpinana telah berganti beberapa kali. Sangat mudah menemukan wajah kemiskinan di negeri yang konon memiliki hasil pribumi melimpah ruah. Di sudut ibu kota (Jakarta) ratusan bahkan ribuan warga miskin berjuang hidup ditengah kemegahan ibukota. Kolong jembatan, pinggir kali hingga emperan sebuah ruko merupakan tempat strategis untuk bisa menemukan mereka.


Wajah kemiskinan ini justru semakin terlihat dengan adanya program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dikucurkan oleh pemerintah selama kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Ribuan orang tiba-tiba muncul sebagai keluarga yang tidak mampu (miskin) dengan harapan tercatat sebagai penerima bantuan langsung tunai yang dianggarkan tiap orang mendapatkan dana kucuran Rp. 300.000. Belum cukup sampai disitu, potret warga miskin justru akan terlihat dengan adanya proses kampanye yang dilakukan puluhan calon wakil rakyat yang akan melangkah ke kursi pemerintahan.

Potret kemiskinan dinegeri ini ternyata tidak hanya sebatas pada elit politik yang menjadi kemiskianan menjadi obyek, namun kemiskinan ini juga dilirik oleh produsen media massa sebagai seni yang menarik untuk dikaryakan di televisi. Pemilik media, mencoba mewujudkan adanya nilai seni dengan citra tinggi di balik rendahnya selera hidup orang-orang miskin. Akhirnya satu persatu program berbau kemiskinan dikemas oleh produsen media sedemikan rupa dengan harapan mampu meningkatkan rating. Belakangan, lahirlah acara yang berseliweran di televisi saat ini seperti ‘Minta Tolong’, ‘Bedah Rumah’, ‘Duit Kaget’, dan ‘Dibayar Lunas’ yang ditayangkan oleh RCTI, ‘Tukar Nasib’ dan ‘Pemberian Misterius’ di Stasiun SCTV, atau ‘Tangan di Atas’ dan ‘Jika Aku Menjadi’ yang tayang di Trans TV.

Acara-acara tersebut, umumnya menampilkan kehidupan orang-orang miskin. Harapannya dapat memancig rasa iba hingga tetesan airmata para penonton televisi. Meski ada juga acara yang sekedar menampilkan bagaimana bila si miskin ini “dikerjai”. Dalam sebuah acara, misalnya (uang kaget) orang miskin diberi uang jutaan rupiah untuk dibelanjankan harus dibelanjakan dalam hitungan menit saja. Saat itu juga, layar kaca pemirsa pun mempertontonkan wajah berkeringat dan tangan gemetaran si miskin saat memiliki setumpuk uang yang mesti dihabiskannya dalam hitungan waktu yang sesingkat-singkatnya pula. Dan situasi inilah yang menjadi hiburan tersendiri dan tidak menutup kemungkinanan penononton bisa sambil tertawa saat melihatnya.

Tontonan semacam itu (reality show) semakin menarik perhatian dengan permainan gambar yang diambil camera person, seperti rekaman kegaduhan atau keramaian disekitarnya, raut muka-mimik muka yang diambil secara dekat (close-up) dengan guratan-guratan muka, bibir yang gemetata dan matanya yang nanar ketika setumpuk uang diberikan kepadanya dan harus dibelanjakan barang apapun dengan waktu yang telah ditentukan. Tayangan tersebut dalam pandangan penulis bukan tidak ada yang positif, namun posisinya menyedihkan karena orang miskin kerap menjadi objek. Televisi sebagai media massa yang dianggap paling sempurna diantara media massa lain menjadikan kemiskinan sebagai obyek yang bisa dijual kepada khalayak bahkan pada awal-awal program semacam ini muncul mampu menaikkan rating. Tidak ada yang tahu, maksud dalam pembuat program reality show kemiskinan seperti saat ini namun yang bisa dilihat adalah program acara ini mampu mendatangkan keuntungan berlipat-lipat bagi pemilik media. Iklan yang masuk disela-sela acara reality show inilah yang membawa keuntungan yang menggiurkan bagi pemilik media.
Jika pemerintah tengah berupaya mencari penyelesaian untuk membantu mengurangi angka kemiskinan, namun televisi menjadikan kemiskinan melakukan proses transformasi barang dan jasa dari nilai gunanya menjadi komoditas yang berorientasi pada nilai tukarnya dipasar. Contoh diatas, merupakan salah satu betapa persoslan kemiskiaan sekalipun mampu menjadi obyek para pemeliki media untuk bisa menghasilkan keuntungan. Program acara reality show ‘kemiskinan’ hingga saat ini masih menduduki rangking tertinggi untuk dijadikan komoditas segala kepentingan individu. Dari suatu potret tentang kemiskinan timbul berbagai macam hal yang mampu menarik perhatian masyarakat mulai dari kelucuan-kelucuannya, simpati, perenungan hingga keuntungan yang lebih bersifat materi dan popularitas.


Televisi Dalam Bingkai Komodifikasi

Persoalan kemiskinan yang diangakat dalam kotak ajaib (televisi) merupakan salah sebuah bentuk komodifikasi yang mendominasi program acara televisi di negeri ini. Komodifikasi disini dapat diasumsikan proses transformasi barang dan jasa dari nilai gunanya menjadi komoditas yang berorientasi pada nilai tukarnya di pasar. Proses transformasi dari nilai guna menjadi nilai tukar, dalam media massa selalu melibatkan para awak media, khalayak pembaca, pasar, dan negara apabila masing-masing di antaranya mempunyai kepentingan (Mosco, 1996). Nilai tambah produksi berita akan sangat ditentukan oleh kemampuan berita tersebut memenuhi kebutuhan sosial dan individual

Menurut perbendaharaan kata dalam istilah Marxist komodifikasi adalah suatu bentuk transformasi dari hubungan, yang awalnya terbebas dari hal-hal yang sifatnya diperdagangkan, menjadi hubungan yang sifatnya komersil. (http://www.marxists.org/glossary/terms/c/o.htm). Dalam artian bahwa hubungan sosial ter-reduksi menjadi hubungan pertukaran. Komodifikasi (commodification); juga merupakan istilah yang hanya ada dalam konsep jual-beli di tahun 1977, namun mengekspresikan konsep fundamental atas penjelasan Karl Marx tentang bagaimana kapitalisme terbangun.

Komodifikasi ini merupakan salah satu cara yang bisa melakukakan pendekatan atau pintu masuk mempelajari media massa dalam pendekatan ekonomi politik. Menurut Mosco (1996), pengertian ekonomi politik bisa dibedakan dalam pengertian sempit dan luas. Dalam pengertian sempit berarti kajian relasi sosial, khususnya relasi kekuasaan, yang bersama-sama membentuk produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya termasuk sumber daya komunikasi. Dalam pengertian luas kajian mengenai kontrol dan pertahanan kehidupan sosial. Selain komodifikasi ada 2 dua aspek yang bisa dilakukan untuk melakukan pendekatan seperti spasialisasi (spatialization); dan strukturasi. strukturasi (structuration).

Sebenaranya banyak cara untuk menentukkan bentuk komodifikasi di media massa. Iklan yang ada ditelevisi merupakan bentuk komoditas lainnya. Penenulis mengambil contoh iklan yang menempatkan komoditas ke dalam hubungan keluarga (versi televisi) yakni teh sariwangi yang menggambarkan bahwa hangatnya teh sariwangi sehangat keluarga. Hal ini menggantikan konsep nilai tukar dalam komodifikasi tadi, menjadi representasi dari moment kasih sayang dalam keluarga.

Ketika periklanan menggerakkan kekuatan dari komoditas untuk mempertinggi hubungan, sebaliknya periklanan sendiri menyembunyikan proses produksi dengan meniadakannya, membuatnya menjadi abstrak, atau menyisipkan estetika di dalamnya. Sebagai khalayak, kita hanya tahu tampilan luar dari suatu komoditas dalam sebuah iklan, tanpa pernah tahu bagaimana komoditas itu diproduksi.

Seperti dicontohkan diatas, industri media yang dibangun dengan semangat kapitalisme tentu akan menghasilkan pesan atau produk media yang berorientasi pada bertambahnya modal. Bukti untuk produk media berorientasi modal adalah banyaknya iklan komersial dan besarnya pengaruh iklan dalam penentuan suatu program. Mungkin sebagian besar isi media tidak secara eksplisit menunjukkan keberpihakannya. Tetapi secara halus pesan-pesan kapitalisme yang menuntun pada perilaku konsumtif masyarakat disisipkan melalui tayangan sinetron, acara gosip, kuis berhadiah, polling sms dan lain sebagainya.

Mosco dalam bukunya, The Political Economy Of Communicatin- Rethingking and Renewal menyatakan rumusan tentang politik ekonomi adalah kajian tentang hubungan-hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan, yang bersama-sama dalam interaksinya menentukan aspek produksi, distribusi, dan konsumsi dari sumber-sumber yang ada. Jika diletakkan dalam lingkup komunikasi khsusnya industri media massa, maka yang dimaksud dengan produksi adalah surat kabar, buku, video, film dan sebagainya. Produk-produk inilah yang menjadi sumber (resources) yang distribusikan dan kemudian dikonsumsi oleh massa. Rangkaian produksi, distribusi, dan komsumsi dalam sebuah industri media ditentukan oleh relasi yang melibatkan pihak pengelola media, pihak pemodal atau kapitalis (penguasa dalam arti ekonomi bisnis) dan negara atau lebih tepatnya pemerintah (penguasa dalam arti politis).

http://matanews.com/wp-content/uploads/potret-kemiskinan-papua1.jpg
 
Perspektif Ekonomi Politik Dalam Bingkai Mosco

Sebenarnya pendekatan ekonomi politik sendiri merupakan bagaian dari disiplin ilmu yang berkembang sejak abad 18 terutama sebagai respon terhadap akeselarasi kapitalis. Ekonomi politik kritis adalah varian studi ekonomi politik yang mencoba bersikap kritis terhadap proses-proses liberal dengan mengedapankan aspek-aspek moral dan etika sosial. Untuk bisa melihat ekonomi politik dalam media, Golding Murdok melakukan dengan pendekatan pada tiga karakter sentral. Pertama, pendekatan ekonomi bersifat holistik.
Holistik disini lebih menekankan pada hubungan antara dinamika sosial, politik dan budaya dalam masyakat serta menghindari kecendrungan untuk mengabstraksi relasitas sosial kedalam toeri ekonomi atau teori politik. Kedua, pendekatan kritis ekonomi politik bersifat historis. Bukan hanya berkaitan dengan fokus perhatian terhadap proses dan dialektik sejarah melainkan secara memadai bagaimana perubahan dan dialektika yang terjadi berkaitan dengan posisi dan peranan media komunikasi dalam sistem kapitalis global. Ketiga, pendekatan kritis eknomi politik bersifat praksis. Pendekatan praksis memadang pengetahuan dalah produk dari interaksi dan dialektika antara teori dan praktik secara terus menurus.

Sementara Mosco dalam bukunya The Political Economy Of Cummunication (1996: 13) merumusan tiga karakter dalam pemahaman eknomi politik yakni realis, inklusif dan kritis. Dalam pemahanam realisme ini dapat dijelaskan pengaruh eknomi politik kritis sangat menghindari ketergantungan ekslusif terhadap teori abstak dan deskrpsi empiris (ekonomi politik dalam hal ini memberikan bobot yang sama terhadap pertimbangan teoritis dan empiris). Sementara inklusif berasal dari kesadaran bahwa kehidupan sosial yang tidak dapat dirangkum kedalam suatu teori. Tidak ada pendaketan yang paling tepat dan paling mendekati ideal dalam studi ekonomi politik komunikasi. Studi ekonomi politik sangat terbuka terhadap perdebatan-perdebatan multi perpektif dan lintas disiplin. Sementara watak atau sifat kritis ekonomi politik mewujud pada kepekaan terhadap berbagai bentuk ketimpangan ketidakadailan. Ekonomi politik memberi perhatian besar terhadap faktor ideologis dan politis yang pengaruhnya bersifat laten terhadap masyrakat.

Moscow juga menjelaskan, usaha untuk memahami proses relasional antara ideologi, media massa dan ekonomi politik media termasuk dalam kategori perspektif ekonomi politik. Vincent Mosco menyebutkan bahwa:
”…Ekonomi politik komunikasi berupaya menjadikan media bukan sebagai pusat perhatian, dengan konsentrasi lebih diarahkan pada kajian mengenai keterkaitannya dengan ekonomi, politik dan faktor-faktor lainnya. Menjadikan media bukan sebagai pusat perhatian berarti memandang sistem komunikasi sebagai terintegrasi dengan proses ekonomi, politik, sosial, dan budaya fundamental dalam masyarakat.”

Sebenarnya, perhatian ekonomi politik diarahkan pada kepemilikan, kontrol serta kekuatan operasional pasar media. Dari titik pandang ini, institusi media massa dianggap sebagai sistem ekonomi yang berhubungan erat dengan sistem politik. Karakter utama pendekatan ekonomi politik adalah produksi media yang ditentukan oleh: pertukaran nilai isi media yang berbagai macam di bawah kondisi tekanan ekspansi pasar dan juga ditentukan kepentingan ekonomi-politik pemilik modal dan pembuat kebijakan media. Berbagai kepentingan tersebut berkaitan dengan kebutuhan untuk memperoleh keuntungan, sebagai akibat dari adanya kecenderungan monopolistis dan proses integrasi, baik secara vertikal maupun horisontal.

Semantara itu secara makro, Peter Golding dan Graham Murdock (dalam Curran dan Gurevitch, 1991:15 – 32) menunjukkan bahwa perspektif ekonomi politik komunikasi massa bisa dibedakan menjadi dua macam paradigma yaitu perspektif ekonomi politik dalam paradigma liberal; dan perspektif ekonomi politik dalam paradigma kritis.

Perspektif ekonomi politik liberal berpusat pada isu proses pertukaran pasar di mana individu sebagai konsumen mempunyai kebebasan untuk memilih komoditas-komoditas yang sedang berkompetisi berdasarkan manfaat dan kepuasan yang ditawarkannya. Semakin besar kekuatan pasar memainkan perannya, semakin besar kebebasan konsumen untuk menentukan pilihannya.

Perspektif ekonomi politik liberal berpusat pada isu proses pertukaran pasar di mana individu sebagai konsumen mempunyai kebebasan untuk memilih komoditas-komoditas yang sedang berkompetisi berdasarkan manfaat dan kepuasan yang ditawarkannya. Semakin besar kekuatan pasar memainkan perannya, semakin besar kebebasan konsumen untuk menentukan pilihannya.

Dalam perspektif ekonomi politik kritis, perspektif ekonomi politik mengikuti Marx untuk memberikan perhatian pada pengorganisasin properti dan produksi pada industri budaya ataupun industri lainnya, bukannya pada proses pertukaran sebagaimana dilakukan liberalisme. Perspektif ini tidak mengabaikan pilihan-pilihan yang dibuat oleh produsen maupun konsumen industri budaya, akan tetapi apa yang dilakukan oleh produsen dan konsumen itu dilihat dalam struktur yang lebih luas lagi.

Golding dan Murdock menempatkan perspektif ekonomi politik media pada paradigma kritis. Golding dan Murdock berpendapat bahwa perspektif ekonomi politik kritis berbeda dengan arus utama dalam ilmu ekonomi dalam hal holisisme, keseimbangan antara usaha kapitalis dengan intervensi publik; dan keterkaitan dengan persoalan-persoalan moralitas seperti masalah keadilan, kesamaan, dan kebaikan publik (public goods).

Analisa ekonomi politik kritis memperhatikan perluasan “dominasi” perusahaan media, baik melalui peningkatan kuantitas dan kualitas produksi budaya yang langsung dilindungi oleh pemilik modal. Tentu saja, ekstensifikasi dominasi media dikontrol melalui dominasi produksi isi media yang sejalan dengan preferensi pemilik modal. Proses komodifikasi media massa memperlihatkan dominasi peran kekuatan pasar (dalam penelitian ini terlihat faktor militer yang menentukan makna dan isi pasar). Proses komodifikasi justru menunjukkan menyempitnya ruang kebebasan bagi para konsumen media untuk memilih dan menyaring informasi.

Dalam konstatasi di atas, maka tidak mengherankan apabila peran media di sini justru menjadi alat legitimasi kepentingan kelas yang memiliki dan mengontrol media melalui produksi kesadaran dan laporan palsu tentang realitas objektif yang sudah bias karena dibutnuk oleh kelompok kepentingan baik secara politik maupun ekonomis. Perjuangan kelas biasanya didasarkan pada antagonisme ekonomi-politik. Posisi dan peran media adalah menutupi dan merepresentasi secara bias dan manipulatif antagonisme tersebut. Ideologi dimanfaatkan untuk menghapus dan mengeliminasi perjuangan kelas. Kontrol atas kelas dibuktikan dengan mencocokkan ideologi yang tersirat dalam pesan media dengan kepentingan kelas yang dominan.

Perspektif ekonomi politik kritis juga menganalisa secara penuh pada campur tangan publik sebagai proses legitimasi melalui ketidaksepakatan publik atas bentuk-bentuk yang harus diambil karena adanya usaha kaum kapitalis mempersempit ruang diskursus publik dan representasi. Dalam konteks ini dapat juga disebut adanya distorsi dan ketidakseimbangan antara masyarakat, pasar dan sistem yang ada.

Sedangkan kriteria-kriteria yang dimiliki oleh analisa ekonomi politik kritis terdiri dari tiga kriteria. Kriteria pertama adalah masyarakat kapitalis menjadi kelompok (kelas) yang mendominasi. Kedua, media dilihat sebagai bagian dari ideologis di mana di dalamnya kelas-kelas dalam masyarakat melakukan pertarungan, walaupun dalam konteks dominasi kelas-kelas tertentu. Kriteria terakhir, profesional media menikmati ilusi otonomi yang disosialisasikan ke dalam norma-norma budaya dominan.

Perspektif ekonomi-politik kritis memiliki tiga varian utama. Ketiga varian tersebut adalah instrumentalisme, kulturalisme, dan strukturalisme. Dalam penelitian ini, varian yang digunakan adalah perspektif instrumentalisme. Perspektif ini memberikan penekanan pada determinisme ekonomi, di mana segala sesuatu pada akhirnya akan dikaitkan secara langsung dengan kekuatan-kekuatan ekonomi. Perspektif ini melihat media sebagai instrumen dari kelas yang mendominasi. Dalam hal ini kapitalis dilihat sebagai pihak yang menggunakan kekuatan ekonominya - untuk kepentingan apapun - dalam sistem pasar komersial untuk memastikan bahwa arus informasi publik sesuai dengan kepentingannya.

Dengan melihat kondisi diatas, revolusi perkembangan teknologi media massa mampu menunjukkan bahwa media massa pada akhirnya mencapai puncak perkembangan sebagai lembaga kunci dalam masyarakat modern. Media massa dapat tampil mempresentasikan diri sebagai ruang publik utama yang mampu menentukan dinamika sosial, politik dan budaya baik dalam lingkup lokal maupun secara global. Media massa yang dinyatakan lahir dari sebuah kapitalis modern ini tidak hanya digunakan sebagai medium untuk mengantarkan pesan antara pengirim dan penerima (komunikan) tetapi dapat berfungsi sebagai alat penundukan dan pemaksaan konsesus oleh kelompok secara ekonomi dan politik dominan. Media massa juga turut menyebarkan atau memperkuat struktur eknomoi politik tertentu selain menjalankan sebuah ideologis tertentu. Melalui kepemilikan dan produk-produk yang disajikan inilah, media menjadi sebuah perangkat ideologis yang melanggengkan dominasi kelas pemodal terhadap publik yang diperlakukan sebagai konsumen semata dan terhadap pemegang kekuasaan untuk memuluskan lahirnya regulasi-regulasi yang pro pasar (Sudibyo: 2004)

Seperti dijelaskan diatas, hadirnya media massa ternyata tidak hanya dimanfaatkan sebagai media penghantar pesan saja tetapi, media massa juga dipergunakan sebagai medium efektif pengiklan utama yang secara signifikan mampu mendorong penjualan produk dan jasa. Bahkan media massa juga mampu menghasilkan surplus dengan menjalankan peran penghubung antara produksi dan konsumsi. Media massa disini, tidak hanya memiliki fungsi sosial dan ekonomi, tetapi juga menjalankan fungsi ideologis sehingga diperlukan berbagai pendekatan tidak hanya dari sisi ekonomi tetapi juga politik atau biasa disebut dengan pendekatan ekonomi politik.

Selain dikemukan diatas, untuk bisa mempelajari dalam ada 2 hal yakni spasialisasi berhubungan dengan proses pengatasan atau paling tepat dikatakan sebagai transformasi batasan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial. Dapat dikatakan juga bahwa spasialisasi merupakan proses perpanjangan institusional media melalui bentuk korporasi dan besarnya badan usaha media (Mosco, 1996). Ukuran badan usaha media dapat bersifat horizontal maupun vertikal. Horizontal artinya bahwa bentuk badan usaha media tersebut adalah bentuk-bentuk konglomerasi, monopoli. Proses spasialisasi yang bersifat vertikal adalah proses integrasi antara induk perusahaan dan anak perusahaannya yang dilakukan dalam satu garis bisnis untuk memperoleh sinergi, terutama untuk memperoleh kontrol dalam produksi media.

http://mediaamalislami.files.wordpress.com/2010/08/kemiskinan1.jpg 
Semantara, strukturasi berkaitan dengan hubungan antara gagasan agensi, proses sosial dan praktek sosial dalam analisa struktur. Strukturasi merupakan interaksi interdependensi antara agen dengan struktur sosial yang melingkupinya (Mosco, 1996). Strukturasi mengandung tiga dimensi penting diantaranya, pemahaman (interpretation / understanding), yaitu menyatakan cara agen memahami sesuatu; moralitas atau arahan yang tepat, yaitu menyatakan cara bagaimana seharusnya sesuatu itu dilakukan; kekuasaan dalam bertindak, yaitu menyatakan cara agen mencapai suatu keinginan.

Tiga dimensi strukturasi tersebut mempengaruhi tidakan agen. Tindakan agen diperkuat oleh struktur pemahaman, moralitas, dan kekuasaan. Dalam hal ini agen menggunakan aturan-aturan untuk memperkuat tindakannya. Dalam satu kelompok yang telah terbentuk strukturnya, masing-masing individu saling membicarakan satu topik tertentu. Dalam strukturasi, hal ini tidaklah direncanakan dan merupakan konsekuensi yang tidak diharapkan dari perilaku anggota-anggota kelompok. Norma atau aturan yang ada diinterpretasi oleh tiap individu dan menjadi arahan tingkah laku mereka. Kekuatan yang mereka miliki memungkinkan mereka untuk mencapai tujuan dan mempengaruhi tindakan orang lain.


Kesimpulan

Kritikan terhadap acara televisi saat ini adalah tidak adanya siaran yang mendidik. Mulai dari sinetron hingga reality show, meski sedikit yang memberikan nilai pendidikan. Kemiskinan sebenarnya tidak layak dijadikan alat untuk mencari keuntungan segelintir orang, apalagi jika menimbulkan efek pengharapan orang miskin lain yang membuat mereka tidak produktif dan akhirnya bisa mengalami stress karena pengharapan yang tak kunjung datang tersebut. Menikmati siaran yang mengangkat kemiskinan mungkin baik jika hasilnya adalah tumbuh empati dan rasa ingin membantu. Namun jika tidak, tentu tetap tidak perubahaan pada bangsa ini. Kemiskinan kurang pantas dijadikan komoditas mencari keuntungan. Dan menjadi tidak pantas jika hanya sekedar menikmati tanpa timbul rasa empati atau keinginan untuk menolong.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dimungkinkan sekali turut melakukan pengawasan tentang program acara yang di televisi. Selama ini KPI baik yang dipusat atau Daerah dianggap lalai untuk melakukan kritik terhadap media massa yang terlalu berlebihan disuguhkan kepada masyarak tidak hanya kemiskinan tapi juga pada sejumlah program acara yang cukup berlebihan seperti kriminal dan acara pada bulan ramadhan yang terlalu ‘over acting’. Tidak hanya itu, pemilik televisi saat ini juga jauh lebih mementingkan keniakan rating dan keuntungan sebesar-besarnya daripada manfaatkan yang bisa diambil untuk masyrakat. Kepentingan ekonomi masih menjadi prioritas para pemilik media massa.

Food For All : Agar Tak Ada Lagi yang Meninggal Kelaparan di Negeri Ini!


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjvkkVGo_ZAJvnCslCJcS4dBD_4h_KE2G9JapKyrLWLCljEQsOzyjps6GTUNY3tMAFMOOWEU6u3a_YFMfjZd0VbdUbeIzv1rSseK6ogZxYu3umykYcJ0nBQOiC-h48pnjzcc7s5H3MSW9ju/s1600/makan+tiwul.jpg






Seperti biasa setiap pagi saya membaca beberapa media sebelum mulai menulis untuk situs ini. Kadang berita-beritanya menjadi inspirasi untuk tulisan-tulisan di situs ini, kadang juga tidak ada yang bisa menjadi inspirasi. Khusus untuk pagi ini saya merangkai tiga berita dari dua surat kabar yaitu Republika dan Kompas, yang kalau dibaca satu per satu kelihatannya tidak nyambung – tetapi bila di cerna ketiganya sekaligus  dan dilihat dengan timbangan yang adil – baru kita akan bisa melihat adanya sesuatu yang menjadi tanggung jawab kita semua untuk memperbaikinya.

Judul berita berita tersebut adalah “Angka Kemiskinan Turun” (Headline, Republika 04/01/11) ; “Makan Tiwul, Enam Bersaudara Tewas” (Hal 11, Republika 04/01/11) dan “Harga Cabai Ikut Tekan Daya Beli” (Headline, Kompas 04/01/11). Jujur saya sampai merinding membaca berita pertama dan kedua tersebut pagi ini.

Di kala pemerintah melalui Menko Perekonomian mengklaim keberhasilan menurunkan jumlah penduduk miskin dari 14.1 % ke 13.3%, di negeri yang sama ada 6 orang bersaudara tidak mampu membeli beras. Karena ketidak mampuan ini, mereka harus makan tiwul – dan tiwul yang dimakan-pun bisa jadi bukan dari yang layak konsumsi sehingga merenggut jiwa-jiwa mereka.

Yah mungkin meninggalnya 6 orang karena makan tiwul beracun ini memang kecelakaan – dan pihak keluarga-pun tidak bisa menuntut siapa-siapa atas musibah yang dideritanya, tetapi tetap membuat saya merinding – mengapa?. Bahwasanya sampai ada 6 orang meninggal karena tidak bisa makan secara wajar, ada fardhu kifayah yang saya takut kita semua melalaikannya yaitu perintah untuk memberi makan. Saya takut kita semua termasuk orang-orang yang melalaikan agama karena kita tidak mendorong orang lain untuk memberi makan orang miskin.

Bila di Chile saja, Presiden-nya sampai ikut berjibaku memimpin langsung upaya penyelamatan satu demi satu sampai seluruh 33 jiwa yang terjebak di reruntuhan tambang bisa diselamatkan – at all cost !; mosok di negeri gemah ripah loh jinawi yang mayoritas menganut agama Islam – dimana di ajaran agama ini ada perintah langsung untuk memberi makan – kita sampai membiarkan ada 6 jiwa meninggal hanya karena tidak mampu membeli beras ?.

Lantas apa yang bisa kita lakukan ?, pemimpin-pemimpin negeri ini tentu memiliki tanggung jawab lebih.  Namun kita semua juga tidak bisa berlepas diri dari perintah Al-Qur’an dalam konteks memberi makan ini, perintah tersebut adalah untuk kita semua – bukan hanya untuk para pemimpin.

Konkritnya apa yang bisa kita lakukan ?. Dalam skala mikro, masing-masing kita bisa mulai mendata orang-orang disekitar kita, mulai karib kerabat, tetangga dan seterusnya.  Kemudian kita santuni mereka bila diantara mereka ada yang berpotensi kelaparan, bahkan akan lebih elegan lagi bila kita bisa memberikan atau mencarikan mereka pekerjaan – agar mereka bisa memberi nafkah untuk dirinya sendiri dan keluarganya secara berkelanjutan.

Bagaimana bila kita sendiri tidak bisa menyantuni, maka kita harus menyuruh orang lain yang mampu untuk menyantuni mereka – ini perintah di QS 107: 3. Gerakan individual satu persatu semacam ini mungkin kurang efektif, tetapi setidaknya kita mulai berbuat sesuatu sebelum ada korban lagi.

Gerakan yang bersifat terorganisir secara massal juga perlu kita lakukan, bagi yang punya kompetensi untuk memimpin LSM, mendesign dan membuat gerakan massal yang positif  dengan tema “Food For All – Pangan Untuk Semua” silahkan Anda gagas gerakan ini, insyaallah kami akan mendukung dengan menyediakan sarana dan prasarana seperti kantor, komunikasi, transportasi dlsb. Bagi yang berminat silahkan mengajukan proposal yang menyangkut program dan team-nya.

Selain yang bersifat gerakan individu dan masyarakat melalui LSM, program yang sifatnya strategis kedepan juga perlu digagas dan terus dikomunikasikan kepada para pihak yang berwenang di negeri ini. Akar masalah dari kemiskinan sampai orang tidak bisa makan secara proper harus bisa ditemukan dan diatasi.

Pengamatan saya yang sementara berdasarkan data yang disajikan oleh Kompas dalam berita tersebut diatas, yang kemudian saya lengkapi dengan sumber data aslinya (BPS) memang menunjukkan adanya sesuatu yang salah di negeri ini. Pangan yang seharusnya menjadi prioritas utama (top priority) dalam pengadaannya, seolah justru menjadi prioritas terakhir.

Hal ini bisa dibaca dari tingkat inflasi pangan yang tertinggi dibandingkan dengan komoditi lainnya. Ketika inflasi tahun 2010 secara umum dikatakan ‘hanya’ 6.96% , inflasi bahan pangan mencapai 15.64 % !. Bahkan selama 5 tahun terakhir dapat dilihat pada grafik dibawah , inflasi bahan pangan (garis merah) selalu lebih tinggi dari inflasi pada umumnya (garis hijau). Rata-rata inflasi bahan pangan 5 tahun terakhir mencapai 12%, sementara inflasi umum  ‘hanya’ 6.8%. Karena harga bahan pangan yang begitu tinggi kenaikannya tersebut diataslah yang menyebabkan enam orang meninggal karena tidak mampu membelinya.

Inflasi 2006-2010Sumber Data : Biro Pusat Statistik
 
Dalam teori harga yang terbentuk di pasar, bila supply lebih kecil dari demand – maka harga naik. Sedangkan demand tidak bisa banyak ditekan karena terkait dengan kebutuhan dasar penduduk negeri ini, maka supply bahan pangan yang terjangkau di dalam negeri harus digenjot. Yang terjadi kini nampaknya masih sebaliknya. Berdasarkan teori supply and demand tersebut, ironi akan nampak jelas karena pangan mengalami inflasi tertinggi (12 % rata-rata 5 tahun) sedangkan urusan transportasi telekomunikasi dan sejenisnya mengalami inflasi terendah (1.8% rata-rata 5 tahun) – maka tidak salah bila kita mengambil kesimpulan bahwa supply mobil, motor, handphone dlsb. nampaknya lebih banyak digenjot ketimbang memproduksi beras.

Jadi berdasarkan grafik tersebut diatas, siapapun pemimpin negeri ini mestinya harus ada effort yang luar biasa dalam membalik arah dan mulai  membangun ketersediaan bahan pangan yang cukup di negeri ini. Fokus di bahan pangan ini sekali lagi harus ada di Top Priority – karena ini diperintahkan langsung di Al-Qur’an – sebaliknya insyaAllah kita tidak berdosa bila ada penduduk negeri ini yang tidak memiliki mobil, motor, handphone dlsb.

Mudah-mudahan tulisan ini dapat meringankan tanggung jawab kita di akhirat nanti karena setidaknya kita telah ‘menyuruh’ orang lain untuk memberi makan, lebih dari itu kita juga ingin berbuat maksimal secara riil dengan gerakan ‘food for all’ – Ayo siapa yang mau dan mampu memimpin project amal ini ? – saya siap makmum di belakang Anda. InsyaAllah.