Karya Sholah Fariduddin
Judul Asli THIS IS MY WAY
Termenung dalam penyesalan dengan menatap aliran air sungai yang tenang. Yang biasa aku lakukan untuk menenangkan diri dalam penyesalan. Dengan memandang keindahan alam yang tenang.
“Ya Tuhanku, bantulah hambamu ini dalam perjalanan hidupku ini. Aku tak ingin mengakhiri perjalanan hidupku sampai detik ini.” Berserah diri kepada allah, tuhan pemilik alam.
“Ya ALLAH, ya Tuhanku. Aku ini mempunyai mimpi, Mimpi untuk merubah kehidupan keluargaku ini.” Ku lemparkan batu kecil ke dalam sungai yang tenang dan membuat ketenangan air itu hancur sesaat.
“Bantulah hambamu ini ya ALLAH, dalam perjalanan menuntut ilmu, walau kini keluargaku tidak bisa membantuku lagi.” Menatap langit dengan meluapkan kesedihan yang ada di hati.
“Lihat dan dengarkanlah, wahai Rabbku. Apa yang ada di dalam lembaran-lembaran harapanku ini.” Ku hanyutkan sebuah kotak yang ber-isi kertas-kertas harapanku ini, seraya berharap tuhan mendengarkan doaku ini.
Setelah hati yang penuh dengan kekecewaan, telah mereda. Aku pun lekas kembali ke rumah seperti biasa, untuk menemani ibuku dan adikku mengurusi ayahku yang sedang sakit parah.
Terhentinya langkah-langkah harapan, yang hanya berakhir di tengah-tengah petualangan dengan sebuah ijazah SMA, yang bisa ku banggakan saat ini. Dan dikarenakan perjalanan hidup yang aku alami saat ini, dengan begitu banyak cobaan. Maka yang hanya bisa ku lakukan untuk mengisi hari demi hari hanya dengan membantu dan menemani ibu dan adikku untuk menjaga ayahku, dan mengajarkan anak-anak desa mengaji di masjid dekat rumah. Tidak hanya aku semata yang mengajarkan anak-anak desa mengaji dan memberikan ilmu-ilmu akhirat, tetapi disiniku ditemani oleh dua sahabatku, Fanny dan Fakhri. Merekalah teman yang selalu berada di sampingku di saat susah ataupun senang dan merekalah teman yang paling mengerti tentang diriku ini, mereka itu seperti saudaraku sendiri dan tidak akan aku lupakan.
“Mas, Mas Fuad…!!!, kamu ndak pergi ke pengajian to..?.” Teriak Fanny sambil berlari menghampiriku di jalan yang berkerikil.
“Maaf Fanny, aku ndak bisa pergi. Aku di kabari oleh ibuku di rumah sakit, katanya ayahku udah sembuh. Makanya aku pingin liat keadaan ayahku ini, maaf ya…” Dengan senyuman yang ringan, aku berikan kepadanya.
“Owalaah.., ya sudah sampaikan salamku ke semuanya ya..!, Kalo bisa si sampein juga, kalo aku pingin nikah sama kamu, hihihi.” Berkata dengan candaan yang mungkin hatinya berkata serius.
“Hem.., kok kamu frontal banget si?.” Sahutku dengan ringan.
“Oh, iya Fanny terima kasih ya kamu sudah bantu ayahku dalam mengobati penyakitnya.” Ku katakan dengan hormat.
“Iya, sama-sama.” Dengan senyum manisnya menyelimuti wajahnya.
“Hem, kayanya udah ndak ada yang inget sama Fakhri, sahabat setia yang selalu menemani.” Tiba-tiba Fakhri berkata dibalik tubuh Fanny.
“Kata siapa kita lupa. Bukannya kita itu sahabat yang tak saling melupakan.” Sahut Fanny lembut.
“Iya dah percaya. Ya sudah toh aku sama Fuad pergi dulu ya ke rumah sakit.” Pamit Fakhri lembut.
“Lah, jadi aku sendirian mengajarnya toh?.” Ucap Fanny dengan paras muka yang cemberut karena kesal.
“Iyo!” sahut Fakhri dengan santai.
Setelah derita yang ayahku alami telah membaik, aku pun kembali seperti biasa mengajar pengajian bersama Fanny dan Fakhri seperti biasa lagi.
“Assalamualaikum, sorry yo. Aku baru bisa mengajar lagi.” Sahutku lembut.
“waalaikumsalam fuad, ndak apa-apa toh. Tapi kayanya ada yang kangen sama kamu deh, malah sekarang dia lupain aku sebagai sahabatnya.” Berbisik kepadaku.
“kata siapa si, Fakhri. Bukannya kita sahabat.” Sahut Fanny karena tersinggung.
“Ya sudah toh jangan ribut terus. Coba liat, banyak adik-adik kita yang ingin menuntut ilmu akhirat, masa kita yang mengajarkan ilmu akhirat malah ngeributin yang bukan akhirat. Contohin yang baik-baik to.., emang amalmu untuk ke akhirat sudah membukit to?.” Sahutku dengan apa yang pernah di katakan oleh ayahku juga.
“Enje-enje ustad” balas mereka berdua, hening.
Hari demi hari, penyesalan yang ada di lubuk hatiku mulai redup. Akan tetapi ada sesuatu kejanggalan yang kusadari hingga saat ini yang selalu berada di dalam hari-hariku.
“Fanny, itu siapa si?. Kok setiap hari mandangin pengajian kita terus.” tanyaku, penasaran di sela berakhirnya pengajian.
“Fans kali.” Sahut Fanny santai.
“Maksud, Fanny?” hening.
“heleeh, ya mas tau sendirilah. Tampang kaya Mas itu banyak yang naksir, salah satunya aku, Mas.” ucap Fanny dan membuatku tambah bingung.
“Fanny, bener deh aku ndak ngerti” jawabku bingung.
“ya sudah lupakan. Oh ya Mas, ada kabar baru ni!.” Lanjut Fanny.
“Gini Mas, kalo ndak salah di ITB, sekarang ada pendaftaran masuk kesana. Terlebih lagi kalo mas ikut test class intensif. Dan kalo berhasil di test itu, Mas bisa dapat full beasiswa dari sana.” Terbayang kembali harapan yang dulu hilang.
“Beneran kamu!.” Tanyaku, penasaran.
“Iya, Mas.” Sahut fanny, senyum.
“Terima kasih Fanny, insyaallah nanti aku akan mengikuti test itu. Do’a-kan aku aja Fanny.” Balasku dengan percaya diri.
“Iya Mas, aku akan selalu mendo’a-kanmu di dalam do’aku selalu.” Ucap Fanny dengan senyuman manisnya.
“Iya Fuad, aku percaya kamu bisa. Buktikan dirimu, up your self!.” Sahut Fakhri di antara perbincanganku.
“thanks, Fakhri.” Jawabku senang.
Bayangan-bayangan harapan yang dulu hilang dalam benakku, kini kembali bersinar. Membuat jiwaku kembali membara, yang dimana selalu berdzikir di setiap malam dan mendekatkan diri pada Tuhan yang Maha adil dan Maha pemberi, dengan ikhtiar ikut ter-iring dalam do’a-do’a yang selaluku panjatkan memberikan kesungguhan kepada jiwa pantang menyerah dalam menggapai harapan. Harapan yang akan berada di depan mataku ini.
“Fuad, kamu pasti bisa.” Sahutku semangat di dalam jiwaku untuk menghadapi hari esok.
Hari penentuan pun tiba, dengan tekad dan usaha yang sudah siap untuk menghadapi hari ini, hari penentuan kehidupanku ini.
“Umi, Fuad ingin menuntut ilmu di ITB. Fuad minta restu Umi, agar dimudahkan segalanya. Dan mudah-mudahan, Fuad bisa pulang membawa keberhasilan untuk semuanya. Do’a-kan Fuad, ya Umi.” Sahutku sopan kepada Ibu untuk meminta restu.
“Fuad anak ku, ITB itu bukan punya Umi. Mintalah restu itu kepada yang mempunyai ITB, yaitu ALLAH semata, ya Fuad anakku. Bukan hanya ITB yang ALLAH punya, tapi seluruh semesta ini adalah miliknya, dan mintalah kemudahan kepadanya, wahai anakku.” Tersentaklah aku dengan apa yang Ibu katakan.
“terima kasih, Umi.” Ku menangis kepadanya dan langsung memeluknya karena telah mengingatkanku kepada pemilik alam.
Lalu, ku berbisik dalam hati di dalam pelukan ibuku. “Ya ALLAH, yang Maha permudah, berikan kemudahan kepada hambamu ini, dalam menjalani hari penentuanku ini. Amin..” Ku menangis dengan berserah diri kepada tuhan semesta alam.
Saat ku melangkahkan kaki untuk beranjak pergi, ku lihat ayahku disudut kamar sedang menatapku. Ku tersenyum kepadanya “Abi lihatlah, akan kutunjukan pada dunia, aku adalah anakmu.” Ucapku dalam hati.
“Mas Fuad, Mas jangan lama-lama perginya ya. Nita kangen sama Mas.” Sahut adik ku, Nita. Menghampiriku.
“Iya Nita, assalamualaikum.” Aku pun pergi dengan langkah pasti.
Disaatku melangkah kaki menyusuri jalan yang berkerikil dengan pasti dan berikhtiar kepada sang Maha pemberi. “Mas Fuad, tunggu sebentar!!!.” Tersentaklah aku ketika mendengar suaranya.
“tunggu sebentar!!.” Lanjutnya dan ku tengokkan wajahku kepadanya. Ternyata Fanny yang menghampiriku dengan berlari.
“Ada apa Fanny?.” Tanyaku penasaran.
“ada yang inginku katakan.” Seketika Fanny menarik tanganku dan mengajakku ke taman untuk membicarakan sesuatu dengan santai.
“Mas, aku ingin nanya jika ada seorang yang mencintai apa kita harus mengungkapkannya?.” Tanya Fanny, lembut.
“Rasulullah berkata ‘Apabila seseorang mencintai saudaranya hendaklah memberitahu bahwa ia mencintainya. H.R Abu daud dan At-tirmidzy’, tetapi karena ALLAH dan membuat kamu lebih dekat dengan yang Maha kuasa. Memang kenapa si?.” Jawabku, tenang.
“Mas, sesungguhnya ada seseorang yang begitu mencintai Mas, katanya gara-gara Mas dia sekarang mengerti arti kehidupan dengan atas nama ALLAH. Dan sebenarnya, ketika Abi Mas ke rumah sakit untuk dirawat yang ngebiayain itu semua adalah orang itu, aku Cuma menambah sedikit untuk pengobatannya. Dia ingin ketemu sama Mas, dan aku ridho Mas jika dia mencintai Mas. Cepatlah Mas temui dia, nama dia fitri, dan ini fotonya, mas.” Tersentaklah aku dengan arti semua ini.
“Ini seperti orang yang sering ngeliatin kita di pengajian itu kan.” Jawabku, terkejut.
“Iya Mas, dia sedang menunggumu, Mas.” Sahut Fanny.
Bingung dengan apa yang terjadi di jalan kehidupanku ini, aku hanya bisa menjalankannya dan berikhtiar. Karena mungkin semuanya sudah di atur oleh yang Maha kuasa.
“Insyaallah, Fanny jika ALLAH berkehendak kepadaku.” Jawabku dengan yakin.
“Iya Mas, hati-hati di jalan Mas.” Balasnya dan langsung pergi meninggalkan ku sendiri.
Dengan apa yang di berikan ALLAH yang Maha pemberi kepada ku yaitu ke ikhtiar, aku bisa meraih keberhasilanku ini di test masuk ku ini dan di tambah lagi dengan full beasiswa yang ku dapatkan.
“Alhamdulillah Ya ALLAH, engkau yang Maha pengasih dan lagi Maha penyayang. Terima kasih wahai ALLAH dengan apa yang engkau berikan saat ini.” Ku berdo’a kepada ALLAH dengan anugrah yang telah diberi ini.
Akan tetapi takdir membawaku kepada tanda merah, dengan waktu yang berjalan dengan cepatnya, semakin lama beasiswaku mulai berakhir dan aku belum mentamatkan sarjanaku.
“Ya ALLAH, berikanlah kemudahan kepada hambamu ini. Tolonglah hambamu ini ya Allah, dalam kebinggungan, dalam persimpangan jalan dan aku tak tau, mana yang harusku pilih. Apakah aku harus berhenti sampai sini atau tetap melangkah dengan beban yang ku alami sampai saat ini. Abi dan Umi butuh bantuan, adikku memerlukan masa depan, tolong hambamu ini Ya Allah.” Ku meminta dengan apa yang terjadi saat ini dengan bersujud dalam-dalam dan tersungkur seraya berserah diri kepada Allah.
“Assalamualaikum Nak, kamu kenapa bersedih begitu?.” Tanya seorang Ibu menghampiriku disaat aku berdo’a di masjid.
Ku jelaskan semuanya tentang apa yang terjadi di dalam hidupku ini. Ibu itu pun terdiam, mendengarkan ceritaku.
“Nak, baru pertama kali Ibu mendengarkan kisah hidup sehebat ini. Begini saja, ini kartu nama Ibu. Kalau tidak keberatan, Ibu harap kamu bisa mampir ke rumah Ibu. Insyallah Ibu bisa membantu, permasalahanmu.” Sahut Ibu itu kepadaku dengan penuh penasaran.
“Terima kasih Ibu, insyaallah saya ke sana.” Jawabku sopan.
“Kok insyallah, itu wajib loh.” Balas Ibu itu.
“Ya sudah Ibu pergi dulu ya Nak, asalamualaikum.” lanjut Ibu itu, dan seketika langsung meninggalkanku.
Kutatap kartu nama yang tadi diberikan oleh ibu ini.
“Terima kasih Ya ALLAH, terima kasih atas pertolonganmu.” seraya bersujud syukur..
Setelah beberapa lama ku berpikir untuk masa depan kuliahku ini, yang semakin tidak menentu. Saat masih dalam kebingungan dan membolak-balik lembar buku kuliah, tiba-tiba Aku menemukan kartu nama yang dulu diberikan ibu Tuti yang dulu bertemu di masjid. Pesan itupun kembali terngiang. Kalau tidak keberatan, Ibu harap kamu bisa mampir ke rumah Ibu. Insyallah Ibu bisa membantu, permasalahanmu.
Ditimang-timang kartu nama ini. Aku pun melangkah dengan ragu dan malu. Terjadi pertentangan batin di diriku ini. Harga diriku yang tinggi tak mengizinkannya menengadahkan tangan, meminta bantuan kepada orang lain yang sama sekali tak memiliki pertalian darah denganku. Namun kondisi keuanganku saat ini betul-betul telah menghujam bumi, tak ada yang bisa digunakanku lagi untuk menyambung hidup apalagi kuliahku saat ini.
“Bismillah.” Gumamku lirih saat menuju ke rumah yang ku rasa akan menjadi harapan terakhir bagiku ini.
Rumah itu begitu besar, megah, dan sungguh asri. Taman depan rumah tertata sangat indah dan bercita rasa tinggi. Air mancur mengalir menimbulkan gemercik yang menyejukkan hati. Lalu, tiba-tiba seorang satpam manghampiriku dengan tatapan yang sinis.
“Mas, Mas siapa ya?.”sahut satpam itu sinis.
“Saya Fuad, Mas.” Jawabku sopan.
“Eh Mas Fuad, kapan kesini, ayo masuk. Ni Pak. Subroto kok ndak disuruh masuk si?.” Sahut Ibu Tuti dari dalam pagar.
“Maaf, Bu. Saya ndak tau.” Jawab satpam itu, rendah.
Aku dan Bu Tuti pun berbincang lama, terutama tentang kuliahku. Sampai diakhir perbincangan.
“Nak Fuad, kami selalu siap untuk membantu Nak Fuad, terutama kuliah Nak fuad. Namun kami harap Nak Fuad juga bisa membantu kami. Tolong nikahi anak kami.”
“Deg…” Tersentak aku mendengarnya
“Ya allah, Jikalau ini memang jalan yang terbaik untuk hamba, maka yakinkanlah hati hamba.” Sahut batinku. Aku pun mengangguk, tanda setuju kepada Bu Tuti.
“Terima kasih, Nak” sahut Bu Tuti senang.
“Bu, namun sebelum itu, saya punya satu permintaan. Tolong siapkan untuk saya sebuah kotak kosong.” Pintaku kepadanya.
“mengapa cuma kotaknya saja?.” Tanya Ibu Tuti.
“karena itu memiliki arti lebih dari pada kotak yang berisi.” Sahutku, percaya diri.
Di saat kotak kosong itu sudah ku gengam. Maka ku memberanikan diri untuk mendekati anak semata wayangnya Ibu Tuti.
Tak kala ku melihat wajahnya kuteringat pada foto yang pernah diberikan oleh Fanny, ku ingat-ingat siapa nama orang ini, karena Fanny pernah menyebutkan nama orang ini.
“Ya, nama kamu Fitri.” Sahutku dalam hati.
“Mengapa kau membelakangiku?.” Tanyaku, heran.
“Aku lelah menanti cinta dan aku malu saat dekat dengannya.” Sahut Fitri sambil berbalik badan.
“Maafkan aku, ini untukmu.” Sahutku dengan senyum.
“Terima kasih, Mas.” Ucap Fitri sambil membuka kotak itu. “Akan tetapi kenapa Mas memberikan sebuah kotak kosong.” Sahut Fitri, heran.
“Fitri.., kotak kosong sama halnya dengan angka nol. Yang merupakan awal segala kemungkinan, ia bisa jadi negatif ataupun positif tergantung pada kita, mau diapakan nol tersebut. Maka maukah kau mengisi kotak ini bersamaku, dengan penuh makna kesempurnaan, dan keindahan, yang akan berbuah kesakinahan, mawadah, warohmah?.” Ucapku lembut.
“Wahai Mas fuad, aku siap mengisi kotak ini bersamamu.” Bisik Fitri saat menghampiriku.
Begitu sempurna arti kehidupan ini, jika kehidupan penuh dengan keikhlasan kepada ALLAH. Karena semua jalan yang kita lalui ALLAH-lah yang mengetahui semuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar