Selasa, 14 Februari 2012

EQ vs SQ


Maka hadapkanlah wajahmu dengan mantap kepada agama, menurut fitrah Allah yang telah menciptakan fitreh itu kepada manusia. Tiada dapat diubah (hukum-hukum) ciptaan Allahh. Itulah agama yang benar, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.”

-QS Ar Ruum (Bangsa Romawi) 30:30-                      


Selama ini banyak berkembang dalam masyarakat kita sebuah pandangan stereotipe, dikotomisasi antara dunia dan akhirat. Dikotomisasi antara unsur kebendaaan dengan unsur agama, antara unsur kasat mata dan tak kasat mata; materialisme versus orientasi nilai-nilai Ilahiah. Mereka yang memilih keberhasilan di alam “vertikal” cenderung “dinisbikan” atau sesuatu yang bisa demikian mudahnya ‘dimarginalkan’. Hasilnya, mereka unggul dalam kekhusyukan dzikir dan kekhitmadan berkontemplasi namun menjadi kalah dalam percaturan ekonomi, ilmu pengetahuan, sosial, politik dan perdagangan di alam “horizontal”. Begitupun sebaliknya, yang berpijak hanya pada alam kebendaan, kekuatan berpikirnya tak pernah diimbangi oleh kekuatan spiritual. Realitas kebendaan yang masih membelenggu hati, tidak memudahkan bagi dirinya sendiri untuk berpijak pada nilai spiritualitas.
Kata-kata Victor E Frankl dalam bukunya Man’s Search of Meaning yang terkenal itu mengatakan,”People have enough to live, but nothing to live for; They have means, but no meaning.” Bahwasanya individu manusia ataupu korporasi dewasa ini membutuhkan ‘meaning and value’ dalam setiap langkah hidupnya. Tidak hanya berkualitas prima, berkesesuaian dengan masyarakat sosialnya, namun juga memiliki makna dan nilai.

Lyle Spencer Jr, direktur riset dan teknologi sekaligus salah satu pendiri perusahaan internasional Hay/Mc Ber—perusahaan konsultan dimana penelitian McCleland diawali, mengemukakan: “Ilmu-ilmu itu hanyalah kemampuan di ambang kecakapan; Anda memerlukannya untuk masuk ke suatu bidang tetapi tidak menjadikan Anda seorang bintang. Kecerdasan emosilah yang sesungguhnya lebih berperan untuk menghasilkan kinerja yang cemerlang.” (Goleman, Op. Cit, hal 22).

Letupan ketakjuban akan EQ (kecerdasan emosi) rupanya tak terlalu lama berlangsung, kita kembali disentakkan oleh hasil akhir dari teori EQ dan IQ, bukankah semuanya hanya berorientasi materi semata-mata ? tiada teori lain, dengan cara pandang berbeda yang dapat melahirkan sebuah muara selain hanya materi? Bukankah hanya mengekar kebendaan, berarti berarti hanya mencakup satu tujua saja, yaitu amaliah duniawi yang fana (temporary) yang berujung pada kekeringan?

Kecerdasan spioritual (SQ), merupakan temuan terkini secara ilmiah, yang pertama kali digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, masing-masing dari Harvard University dan Oxford University malalui riset yang sangat komprehensif. Pembuktian ilmiah tentang kecerdasan spiritual dipaparkan Zohar dan Marshall dalam SQ, Spiritual Quotient, (The Ultimate Intelligence London, 2000). Dua diantaranya adalah: Pertama, riset ahli psikologi/saraf, Michael Persinger pada awal tahun 1990-an, dan lebih mutakhir lagi 1997 oleh ahli saraf VS Rahmachandran dan timnya dari California University, yang menemukan eksistansin God Spot dalam otak manusia—telah built in sebagai pusat spiritual (spiritual center) yang terletak diantara jaringan saraf dan otak.

Sedangkan bukti kedua adalah riset ahli saraf Austria, Wolf singer era 1990-an atas makalahnya: The Binding Problem, yang menunjukkan ada proses saraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha untuk menyatukan serta memberi makna pengalaman hidup kita. Suatu jaringan saraf yang secara literal “mengkat” pengalaman kita secara bersama untuk “hidup lebih bermakna.” Pada God Spot inilah sebenarnya terdapat value manusia tertinggi (the ultimate meaning), namun ironisnya SQ atau Spiritual Quetient tersebut belum, bahkan tataran biologo-psikologi, tidak mampu mengungkap hal yang bersifat transendental yang mengakar, yang pada akhirnya kembai berakibat pada “kebuntuan”.

Fakta berikutnya Ian Mitroff dan Elizabeth A Denton membeberkan dalam karyanya yang berjudul: A Spiritual Audit of Corporate America: A Hard Look at Spirituality, Religion and Values in the Workplace tersebut menuliskan bahwa: “Most of the executives defined spirituality in much the same way-not as religion, but as “the basic desire to find purposes and meaning in one’s life”—makin memperkuat fenomena SQ yang perlahan (namu pasti) menempati ruang di hati manusia, walau bukan seorang spiritualis sekalipun. Namun temuan “God Spot” mereka baru sebatas hardware-nya saja (spiritual center pada otak manusia), belum ada software (isi dan kandungan)-nya. ESQ Model adalah software dari God Spot untuk melakukan Spiritual Engineering sekaligus sebagai mekanisme penggabungan tiga kecerdasan manusia yaitu: EQ, IQ dan SQ dalam satu kesatuan yang integral dan transendental.

Contoh sederhana: Harry adalah seorang yang sangat taat “beribadah”. Ia bekerja pada sebuah lembaga pendidikan sebagai seorang pengajar. Atasannya mengalami kesulitan untuk mengatur Harry, karena ia berprinsip seperti ini: “Hari senin sampai Kamis sebagai hari-hari untuk keperluan dunia, Jumat sampai Minggu untuk akhirat. Pagi sampai siang untuk bekerja, dan malah hari untuk beribadah.” Saat ini Harry menuntut atasannya diberi cuti dengan pembagian waktu sebagai berikut, “Dalam satu tahun 200 hari adalah untuk bekerja dan 165 harus untuk beribadah!” Atasannya bingung karena Harry berkata, “Ini soal beribadah kepada Tuhan, apakah Anda melarang saya?” sekarang atasan Harry bahkan ikut dengan gaya ibadah Harry. Inilah contoh disintegrasi antara rasionalitas dunia dengan spirit ketuhanan, atau pemisahan antara SQ dengan EQ, atau pemisahan IQ dan SQ.

Seperti biasa, waktu mengendapkan sifat ekstrim dari tiap-tiap teori tersebut. Pemikiran radikal lambat laun berubah menjadi lebih moderat. Demikian juga dengan teori-teori tersebut. Meski keduanya berbeda, ternyata EQ dan SQ memiliki muatan yang sama pentingnya untuk dapat bersinergi antara satu sama lain. Dan melalui sebuah perenungan panjang, akhirnya dengan ijin Allah, saya meminjam suara-suara hati milik-Nya untuk menggagas sebuah bentuk sinergi keduannya ke dalam ESQ (Emosional and Spirit Quetient). Sebuah penggabungan gagasan kedua energi tersebut untuk menyusun metode yang lebih dapat diandalkan dalam menemukan pengetahuan yang benar dan hakiki.

Hadist Rasulullah SAW:
“Bukanlah sebaik-baik kamu orang yang bekerja untuk dunianya saja tanpa akhirat, dan tidak pula orang-orang yang bekerja untuk akhiratnya saja dan meninggalkan dunianya. Dan sesungguhnya, sebaik-baiknya kamu adalah orang yang bekerja untuk (akhirat) dan untuk (dunia).”


Hubungan antara IQ, EQ, SQ dan Tuhan

Tuhan
[Spiritual]
|
SQ (God Spot)
|
Suara Hati
|

 Zero Mind Process


                           IQ (Intelektual)   |    EQ (Emosional)  



“Tidaklkah mereka melakukan perjalanan dimuka bumi, sehingga mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka mendengar? Sungguh, bukanlah matanya yang buta, tetapi yang buta ialah hatinya, yang ada dalam (rongga) dadanya.”

-QS Al Hajj (Haji) 22:46-    

   
KECERDASAN SPIRITUAL—SQ
Danah Zohar dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menhadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertingi kita (Danah Zohar dan Ian Marshall, “SQ: Spiritual Intellegence”, Bloomsbury, Great Britain).

Sedangkan dalam ESQ, kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna spiritual terhadap pemikiran, perilaku dan kegiatan, serta mampu menyinergikan IQ, EQ dan SQ secara komprehensif. Saya akan berikan contoh, Erwyn bekerja disebuah perusahaan otomotif sebagai seorang buruh. Tugasnya memasang dan mengencangkan baut pada jok pengemudi. Itulah tugas rutin yang sudah dikerjakannnya selama hampir sepuluh tahun. Karena pendidikannya hanya setingkat SLTP, maka sulit baginya untuk meraih posisi puncak. Saya pernah bertanya kepada Erwyn: “Bukankah itu suatu pekerjaan yang sangat membosankan?” ia menjawab dengan tersenyum, “Tidakkah ini pekerjaan mulia, saya telah meyelamatkan ribuan orang yang mengemudikan mobil-mobil ini? Saya mengencang-kuatkan seluruh kursi pengemudi yang mereka duduki, sehingga mereka sekeluarga selamat, termasuk kursi mobil yang Anda duduki itu.”
Esok harinya saya mendatangi Erwyn lagi. Saya bertanya lagi: “Mengapa Anda bekerja begitu giat, upah Anda, kan tidak besar? Mengapa Anda tidak melakukan mogok kerja saja seperti yang lain untuk menuntut kenaikan upah?” Ia memandangi mata saya, masih dengan senyum dan menjawab: “Saya memang senang kenaikan upah seperti teman-teman yang lain, tapi saya pun memahami bahwa keadaan ekonomi memang sedang sulit dan perusahaan pu terkena imbasnya. Saya memahami keadaan pimpinan perusahaan yang juga tentu sedang dalam kesulitan, bahkan terancam pemotongan gaji seperti saya. Jadi kalau saya mogok kerja, maka itu hanya akan memperberat masalah mereka, masalah saya juga.” Lalu ia melanjutkan pembicaraannya sambil tersenyum. “Saya bekerja, karena prinsip saya adalah ‘memberi’, bukan untuk perusahaan, namun lebih pada pengabdian bagi Tuhan saya.”

Erwyn mampu memaknai pekerjaannya sebagai ibadah, demi kepentingan umat manusia dan Tuhan yang sangat dicintainya. Ia berfikir secara integralistik dengan memahami kondisi perusahaan secara keseluruhan, situasi ekonomi, dan masalah atasannya, dalam satu kesatuan yang integral. Erwyn berprinsip dari dalam, bukan dari luar, ia tidak terpengaruh oleh lingkungannya. Erwyn adalah seorang raja atas jiwanya sendiri yang bebas merdeka. Sebuah penggabungan atau sinergi antara rasionalitas dunia (EQ dan IQ) dan kepentingan spiritual (SQ). Hasilnya adalah kebahagiaan dan kedamaian pada jiwa Erwyn, sekaligus etos kerja Erwyn yang tinggi tak terbatas. Ia menjadi aset perusahaan yang sangat penting dan “rahmatan lil ‘alamiin” bagi sekitarnya.

Take time ti THINK. It is the source of power.
Take time to READ. It is foundation of wisdom.
Take time to QUIET. It is opportunity to seek God.
Tak time to DREAM. It is the future made of.
Take time to PRAY. It is the greatest power on earth.

-Author Unknown-      


“Kemudian Ia memberinya bentuk (dengan perbandingan ukuran yang baik), dan meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Nya. Ia jadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan (perasaan) hati ...”
-QS As Sajdah (Sujud) 32:9-  


ESQ (Emosional Spiritual Quotient)
THE ESQ WAY 165
1 Ihsan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam
Ary Ginanjar Agustian




Tidak ada komentar:

Posting Komentar