“Maka hadapkanlah
wajahmu dengan mantap kepada agama, menurut fitrah Allah yang telah menciptakan
fitreh itu kepada manusia. Tiada dapat diubah (hukum-hukum) ciptaan Allahh.
Itulah agama yang benar, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.”
-QS Ar Ruum (Bangsa Romawi)
30:30-
Selama
ini banyak berkembang dalam masyarakat kita sebuah pandangan stereotipe, dikotomisasi antara dunia
dan akhirat. Dikotomisasi antara unsur kebendaaan dengan unsur agama, antara
unsur kasat mata dan tak kasat mata; materialisme versus orientasi nilai-nilai Ilahiah. Mereka yang memilih
keberhasilan di alam “vertikal” cenderung “dinisbikan” atau sesuatu yang bisa
demikian mudahnya ‘dimarginalkan’. Hasilnya, mereka unggul dalam kekhusyukan
dzikir dan kekhitmadan berkontemplasi namun menjadi kalah dalam percaturan
ekonomi, ilmu pengetahuan, sosial, politik dan perdagangan di alam
“horizontal”. Begitupun sebaliknya, yang berpijak hanya pada alam kebendaan,
kekuatan berpikirnya tak pernah diimbangi oleh kekuatan spiritual. Realitas
kebendaan yang masih membelenggu hati, tidak memudahkan bagi dirinya sendiri
untuk berpijak pada nilai spiritualitas.
Kata-kata
Victor E Frankl dalam bukunya Man’s Search of Meaning yang terkenal
itu mengatakan,”People have enough to
live, but nothing to live for; They have means, but no meaning.” Bahwasanya
individu manusia ataupu korporasi dewasa ini membutuhkan ‘meaning and value’ dalam setiap langkah hidupnya. Tidak hanya
berkualitas prima, berkesesuaian dengan masyarakat sosialnya, namun juga
memiliki makna dan nilai.
Lyle Spencer Jr, direktur riset dan teknologi
sekaligus salah satu pendiri perusahaan internasional Hay/Mc Ber—perusahaan
konsultan dimana penelitian McCleland diawali, mengemukakan: “Ilmu-ilmu itu
hanyalah kemampuan di ambang kecakapan; Anda memerlukannya untuk masuk ke suatu
bidang tetapi tidak menjadikan Anda seorang bintang. Kecerdasan emosilah yang
sesungguhnya lebih berperan untuk menghasilkan kinerja yang cemerlang.”
(Goleman, Op. Cit, hal 22).
Letupan
ketakjuban akan EQ (kecerdasan emosi) rupanya tak terlalu lama berlangsung,
kita kembali disentakkan oleh hasil akhir dari teori EQ dan IQ, bukankah
semuanya hanya berorientasi materi semata-mata ? tiada teori lain, dengan cara
pandang berbeda yang dapat melahirkan sebuah muara selain hanya materi?
Bukankah hanya mengekar kebendaan, berarti berarti hanya mencakup satu tujua
saja, yaitu amaliah duniawi yang fana (temporary) yang berujung pada kekeringan?
Kecerdasan
spioritual (SQ), merupakan temuan terkini secara ilmiah, yang pertama kali
digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, masing-masing dari
Harvard University dan Oxford University malalui riset yang sangat
komprehensif. Pembuktian ilmiah tentang kecerdasan spiritual dipaparkan Zohar
dan Marshall dalam SQ, Spiritual Quotient,
(The Ultimate Intelligence London, 2000). Dua diantaranya adalah: Pertama,
riset ahli psikologi/saraf, Michael
Persinger pada awal tahun 1990-an, dan lebih mutakhir lagi 1997 oleh ahli
saraf VS Rahmachandran dan timnya
dari California University, yang menemukan eksistansin God Spot dalam otak
manusia—telah built in sebagai pusat
spiritual (spiritual center) yang
terletak diantara jaringan saraf dan otak.
Sedangkan
bukti kedua adalah riset ahli saraf Austria, Wolf singer era 1990-an atas makalahnya: The Binding Problem, yang menunjukkan ada proses saraf dalam otak
manusia yang terkonsentrasi pada usaha untuk menyatukan serta memberi makna
pengalaman hidup kita. Suatu jaringan saraf yang secara literal “mengkat”
pengalaman kita secara bersama untuk “hidup lebih bermakna.” Pada God Spot inilah sebenarnya terdapat value manusia tertinggi (the ultimate meaning), namun ironisnya
SQ atau Spiritual Quetient tersebut
belum, bahkan tataran biologo-psikologi, tidak mampu mengungkap hal yang
bersifat transendental yang mengakar, yang pada akhirnya kembai berakibat pada
“kebuntuan”.
Fakta
berikutnya Ian Mitroff dan Elizabeth A Denton membeberkan dalam
karyanya yang berjudul: A Spiritual Audit
of Corporate America: A Hard Look at Spirituality, Religion and Values in the
Workplace tersebut menuliskan bahwa: “Most
of the executives defined spirituality in much the same way-not as religion,
but as “the basic desire to find purposes and meaning in one’s life”—makin
memperkuat fenomena SQ yang perlahan (namu pasti) menempati ruang di hati
manusia, walau bukan seorang spiritualis sekalipun. Namun temuan “God Spot” mereka baru sebatas hardware-nya saja (spiritual center pada
otak manusia), belum ada software
(isi dan kandungan)-nya. ESQ Model adalah software
dari God Spot untuk melakukan Spiritual Engineering sekaligus sebagai
mekanisme penggabungan tiga kecerdasan manusia yaitu: EQ, IQ dan SQ dalam satu
kesatuan yang integral dan transendental.
Contoh
sederhana: Harry adalah seorang yang sangat taat “beribadah”. Ia bekerja pada
sebuah lembaga pendidikan sebagai seorang pengajar. Atasannya mengalami
kesulitan untuk mengatur Harry, karena ia berprinsip seperti ini: “Hari senin
sampai Kamis sebagai hari-hari untuk keperluan dunia, Jumat sampai Minggu untuk
akhirat. Pagi sampai siang untuk bekerja, dan malah hari untuk beribadah.” Saat
ini Harry menuntut atasannya diberi cuti dengan pembagian waktu sebagai
berikut, “Dalam satu tahun 200 hari adalah untuk bekerja dan 165 harus untuk
beribadah!” Atasannya bingung karena Harry berkata, “Ini soal beribadah kepada
Tuhan, apakah Anda melarang saya?” sekarang atasan Harry bahkan ikut dengan
gaya ibadah Harry. Inilah contoh disintegrasi antara rasionalitas dunia dengan
spirit ketuhanan, atau pemisahan antara SQ dengan EQ, atau pemisahan IQ dan SQ.
Seperti
biasa, waktu mengendapkan sifat ekstrim dari tiap-tiap teori tersebut.
Pemikiran radikal lambat laun berubah menjadi lebih moderat. Demikian juga
dengan teori-teori tersebut. Meski keduanya berbeda, ternyata EQ dan SQ
memiliki muatan yang sama pentingnya untuk dapat bersinergi antara satu sama
lain. Dan melalui sebuah perenungan panjang, akhirnya dengan ijin Allah, saya
meminjam suara-suara hati milik-Nya untuk menggagas sebuah bentuk sinergi
keduannya ke dalam ESQ (Emosional and
Spirit Quetient). Sebuah penggabungan gagasan kedua energi tersebut untuk
menyusun metode yang lebih dapat diandalkan dalam menemukan pengetahuan yang
benar dan hakiki.
Hadist
Rasulullah SAW:
“Bukanlah
sebaik-baik kamu orang yang bekerja untuk dunianya saja tanpa akhirat, dan
tidak pula orang-orang yang bekerja untuk akhiratnya saja dan meninggalkan
dunianya. Dan sesungguhnya, sebaik-baiknya kamu adalah orang yang bekerja untuk
(akhirat) dan untuk (dunia).”
Hubungan antara IQ,
EQ, SQ dan Tuhan
Tuhan
[Spiritual]
|
SQ (God Spot)
|
Suara Hati
|
Zero Mind Process
Tuhan
[Spiritual]
|
SQ (God Spot)
|
Suara Hati
|
Zero Mind Process
IQ (Intelektual) | EQ (Emosional)
“Tidaklkah mereka
melakukan perjalanan dimuka bumi, sehingga mereka mempunyai hati yang dengan
itu mereka mendengar? Sungguh, bukanlah matanya yang buta, tetapi yang buta
ialah hatinya, yang ada dalam (rongga) dadanya.”
-QS Al Hajj (Haji)
22:46-
KECERDASAN
SPIRITUAL—SQ
Danah
Zohar dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan
untuk menhadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk
menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan
kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih
bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan
untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan
tertingi kita (Danah Zohar dan Ian Marshall, “SQ: Spiritual Intellegence”, Bloomsbury,
Great Britain).
Sedangkan
dalam ESQ, kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna spiritual
terhadap pemikiran, perilaku dan kegiatan, serta mampu menyinergikan IQ, EQ dan
SQ secara komprehensif. Saya akan berikan contoh, Erwyn bekerja disebuah
perusahaan otomotif sebagai seorang buruh. Tugasnya memasang dan mengencangkan
baut pada jok pengemudi. Itulah tugas rutin yang sudah dikerjakannnya selama
hampir sepuluh tahun. Karena pendidikannya hanya setingkat SLTP, maka sulit
baginya untuk meraih posisi puncak. Saya pernah bertanya kepada Erwyn:
“Bukankah itu suatu pekerjaan yang sangat membosankan?” ia menjawab dengan
tersenyum, “Tidakkah ini pekerjaan mulia, saya telah meyelamatkan ribuan orang
yang mengemudikan mobil-mobil ini? Saya mengencang-kuatkan seluruh kursi
pengemudi yang mereka duduki, sehingga mereka sekeluarga selamat, termasuk
kursi mobil yang Anda duduki itu.”
Esok
harinya saya mendatangi Erwyn lagi. Saya bertanya lagi: “Mengapa Anda bekerja
begitu giat, upah Anda, kan tidak
besar? Mengapa Anda tidak melakukan mogok kerja saja seperti yang lain untuk
menuntut kenaikan upah?” Ia memandangi mata saya, masih dengan senyum dan
menjawab: “Saya memang senang kenaikan upah seperti teman-teman yang lain, tapi
saya pun memahami bahwa keadaan ekonomi memang sedang sulit dan perusahaan pu
terkena imbasnya. Saya memahami keadaan pimpinan perusahaan yang juga tentu
sedang dalam kesulitan, bahkan terancam pemotongan gaji seperti saya. Jadi
kalau saya mogok kerja, maka itu hanya akan memperberat masalah mereka, masalah
saya juga.” Lalu ia melanjutkan pembicaraannya sambil tersenyum. “Saya bekerja,
karena prinsip saya adalah ‘memberi’, bukan untuk perusahaan, namun lebih pada
pengabdian bagi Tuhan saya.”
Erwyn
mampu memaknai pekerjaannya sebagai ibadah, demi kepentingan umat manusia dan
Tuhan yang sangat dicintainya. Ia berfikir secara integralistik dengan memahami
kondisi perusahaan secara keseluruhan, situasi ekonomi, dan masalah atasannya,
dalam satu kesatuan yang integral. Erwyn berprinsip dari dalam, bukan dari
luar, ia tidak terpengaruh oleh lingkungannya. Erwyn adalah seorang raja atas
jiwanya sendiri yang bebas merdeka. Sebuah penggabungan atau sinergi antara
rasionalitas dunia (EQ dan IQ) dan kepentingan spiritual (SQ). Hasilnya adalah
kebahagiaan dan kedamaian pada jiwa Erwyn, sekaligus etos kerja Erwyn yang
tinggi tak terbatas. Ia menjadi aset perusahaan yang sangat penting dan “rahmatan lil ‘alamiin” bagi sekitarnya.
Take time ti THINK.
It is the source of power.
Take time to READ.
It is foundation of wisdom.
Take time to QUIET.
It is opportunity to seek God.
Tak time to DREAM.
It is the future made of.
Take time to PRAY.
It is the greatest power on earth.
-Author Unknown-
“Kemudian Ia
memberinya bentuk (dengan perbandingan ukuran yang baik), dan meniupkan ke
dalamnya ruh (ciptaan)-Nya. Ia jadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan
(perasaan) hati ...”
-QS As Sajdah
(Sujud) 32:9-
ESQ (Emosional Spiritual
Quotient)
THE ESQ WAY 165
1 Ihsan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun
Islam
Ary
Ginanjar Agustian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar