Sangat
mengejutkan, jika kita melihat angka kemiskinan negara Indonesia
tahun 2009 yang mencapai angka 33, 7 juta jiwa. Menurut perhitungan
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) angka itu dapat
terjadi jika ekonomi cuma tumbuh 4,5% dan inflasi lari sampai 9%. Meski
angka ini dibandingkan dengan tahun 2008 tidak jauh berbeda yakni 34,
96 juta jiwa1.
Sebenarnya persoalan pengentasan kemiskinan
merupakan cerita klasik yang dihadapi setiap negara, tidak terkecuali
dengan Indonesia.
Kemiskinan
merupakan persoalan yang sangat kompleks dan sulit ditemukan benang
merahnya meski generasi kepemimpinana telah berganti beberapa kali.
Sangat mudah menemukan wajah kemiskinan di negeri yang konon memiliki
hasil pribumi melimpah ruah. Di sudut ibu kota (Jakarta) ratusan bahkan
ribuan warga miskin berjuang hidup ditengah kemegahan ibukota. Kolong
jembatan, pinggir kali hingga emperan sebuah ruko merupakan tempat
strategis untuk bisa menemukan mereka.
Wajah kemiskinan ini
justru semakin terlihat dengan adanya program Bantuan Langsung Tunai
(BLT) yang dikucurkan oleh pemerintah selama kepemimpinan Susilo
Bambang Yudhoyono. Ribuan orang tiba-tiba muncul sebagai keluarga yang
tidak mampu (miskin) dengan harapan tercatat sebagai penerima bantuan
langsung tunai yang dianggarkan tiap orang mendapatkan dana kucuran
Rp. 300.000. Belum cukup sampai disitu, potret warga miskin justru
akan terlihat dengan adanya proses kampanye yang dilakukan puluhan
calon wakil rakyat yang akan melangkah ke kursi pemerintahan.
Potret
kemiskinan dinegeri ini ternyata tidak hanya sebatas pada elit
politik yang menjadi kemiskianan menjadi obyek, namun kemiskinan ini
juga dilirik oleh produsen media massa sebagai seni yang menarik untuk
dikaryakan di televisi. Pemilik media, mencoba mewujudkan adanya nilai
seni dengan citra tinggi di balik rendahnya selera hidup orang-orang
miskin. Akhirnya satu persatu program berbau kemiskinan dikemas oleh
produsen media sedemikan rupa dengan harapan mampu meningkatkan rating.
Belakangan, lahirlah acara yang berseliweran di televisi saat ini
seperti ‘Minta Tolong’, ‘Bedah Rumah’, ‘Duit Kaget’, dan ‘Dibayar Lunas’
yang ditayangkan oleh RCTI, ‘Tukar Nasib’ dan ‘Pemberian Misterius’
di Stasiun SCTV, atau ‘Tangan di Atas’ dan ‘Jika Aku Menjadi’ yang
tayang di Trans TV.
Acara-acara tersebut, umumnya menampilkan
kehidupan orang-orang miskin. Harapannya dapat memancig rasa iba
hingga tetesan airmata para penonton televisi. Meski ada juga acara
yang sekedar menampilkan bagaimana bila si miskin ini “dikerjai”.
Dalam sebuah acara, misalnya (uang kaget) orang miskin diberi uang
jutaan rupiah untuk dibelanjankan harus dibelanjakan dalam hitungan
menit saja. Saat itu juga, layar kaca pemirsa pun mempertontonkan
wajah berkeringat dan tangan gemetaran si miskin saat memiliki
setumpuk uang yang mesti dihabiskannya dalam hitungan waktu yang
sesingkat-singkatnya pula. Dan situasi inilah yang menjadi hiburan
tersendiri dan tidak menutup kemungkinanan penononton bisa sambil
tertawa saat melihatnya.
Tontonan semacam itu (reality show)
semakin menarik perhatian dengan permainan gambar yang diambil camera
person, seperti rekaman kegaduhan atau keramaian disekitarnya, raut
muka-mimik muka yang diambil secara dekat (close-up) dengan
guratan-guratan muka, bibir yang gemetata dan matanya yang nanar
ketika setumpuk uang diberikan kepadanya dan harus dibelanjakan barang
apapun dengan waktu yang telah ditentukan. Tayangan tersebut dalam
pandangan penulis bukan tidak ada yang positif, namun posisinya
menyedihkan karena orang miskin kerap menjadi objek. Televisi sebagai
media massa yang dianggap paling sempurna diantara media massa lain
menjadikan kemiskinan sebagai obyek yang bisa dijual kepada khalayak
bahkan pada awal-awal program semacam ini muncul mampu menaikkan
rating. Tidak ada yang tahu, maksud dalam pembuat program reality show
kemiskinan seperti saat ini namun yang bisa dilihat adalah program
acara ini mampu mendatangkan keuntungan berlipat-lipat bagi pemilik
media. Iklan yang masuk disela-sela acara reality show inilah yang
membawa keuntungan yang menggiurkan bagi pemilik media.
Jika
pemerintah tengah berupaya mencari penyelesaian untuk membantu
mengurangi angka kemiskinan, namun televisi menjadikan kemiskinan
melakukan proses transformasi barang dan jasa dari nilai gunanya menjadi
komoditas yang berorientasi pada nilai tukarnya dipasar. Contoh
diatas, merupakan salah satu betapa persoslan kemiskiaan sekalipun
mampu menjadi obyek para pemeliki media untuk bisa menghasilkan
keuntungan. Program acara reality show ‘kemiskinan’ hingga saat ini
masih menduduki rangking tertinggi untuk dijadikan komoditas segala
kepentingan individu. Dari suatu potret tentang kemiskinan timbul
berbagai macam hal yang mampu menarik perhatian masyarakat mulai dari
kelucuan-kelucuannya, simpati, perenungan hingga keuntungan yang lebih
bersifat materi dan popularitas.
Televisi Dalam Bingkai KomodifikasiPersoalan
kemiskinan yang diangakat dalam kotak ajaib (televisi) merupakan
salah sebuah bentuk komodifikasi yang mendominasi program acara
televisi di negeri ini. Komodifikasi disini dapat diasumsikan proses
transformasi barang dan jasa dari nilai gunanya menjadi komoditas yang
berorientasi pada nilai tukarnya di pasar. Proses transformasi dari
nilai guna menjadi nilai tukar, dalam media massa selalu melibatkan
para awak media, khalayak pembaca, pasar, dan negara apabila
masing-masing di antaranya mempunyai kepentingan (Mosco, 1996). Nilai
tambah produksi berita akan sangat ditentukan oleh kemampuan berita
tersebut memenuhi kebutuhan sosial dan individual
Menurut
perbendaharaan kata dalam istilah Marxist komodifikasi adalah suatu
bentuk transformasi dari hubungan, yang awalnya terbebas dari hal-hal
yang sifatnya diperdagangkan, menjadi hubungan yang sifatnya komersil.
(http://www.marxists.org/glossary/terms/c/o.htm). Dalam artian bahwa
hubungan sosial ter-reduksi menjadi hubungan pertukaran. Komodifikasi
(commodification); juga merupakan istilah yang hanya ada dalam konsep
jual-beli di tahun 1977, namun mengekspresikan konsep fundamental atas
penjelasan Karl Marx tentang bagaimana kapitalisme terbangun.
Komodifikasi
ini merupakan salah satu cara yang bisa melakukakan pendekatan atau
pintu masuk mempelajari media massa dalam pendekatan ekonomi politik.
Menurut Mosco (1996), pengertian ekonomi politik bisa dibedakan dalam
pengertian sempit dan luas. Dalam pengertian sempit berarti kajian
relasi sosial, khususnya relasi kekuasaan, yang bersama-sama membentuk
produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya termasuk sumber daya
komunikasi. Dalam pengertian luas kajian mengenai kontrol dan
pertahanan kehidupan sosial. Selain komodifikasi ada 2 dua aspek yang
bisa dilakukan untuk melakukan pendekatan seperti spasialisasi
(spatialization); dan strukturasi. strukturasi (structuration).
Sebenaranya
banyak cara untuk menentukkan bentuk komodifikasi di media massa.
Iklan yang ada ditelevisi merupakan bentuk komoditas lainnya.
Penenulis mengambil contoh iklan yang menempatkan komoditas ke dalam
hubungan keluarga (versi televisi) yakni teh sariwangi yang
menggambarkan bahwa hangatnya teh sariwangi sehangat keluarga. Hal ini
menggantikan konsep nilai tukar dalam komodifikasi tadi, menjadi
representasi dari moment kasih sayang dalam keluarga.
Ketika
periklanan menggerakkan kekuatan dari komoditas untuk mempertinggi
hubungan, sebaliknya periklanan sendiri menyembunyikan proses produksi
dengan meniadakannya, membuatnya menjadi abstrak, atau menyisipkan
estetika di dalamnya. Sebagai khalayak, kita hanya tahu tampilan luar
dari suatu komoditas dalam sebuah iklan, tanpa pernah tahu bagaimana
komoditas itu diproduksi.
Seperti dicontohkan diatas, industri
media yang dibangun dengan semangat kapitalisme tentu akan
menghasilkan pesan atau produk media yang berorientasi pada
bertambahnya modal. Bukti untuk produk media berorientasi modal adalah
banyaknya iklan komersial dan besarnya pengaruh iklan dalam penentuan
suatu program. Mungkin sebagian besar isi media tidak secara
eksplisit menunjukkan keberpihakannya. Tetapi secara halus pesan-pesan
kapitalisme yang menuntun pada perilaku konsumtif masyarakat
disisipkan melalui tayangan sinetron, acara gosip, kuis berhadiah,
polling sms dan lain sebagainya.
Mosco dalam bukunya, The
Political Economy Of Communicatin- Rethingking and Renewal menyatakan
rumusan tentang politik ekonomi adalah kajian tentang
hubungan-hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan, yang
bersama-sama dalam interaksinya menentukan aspek produksi, distribusi,
dan konsumsi dari sumber-sumber yang ada. Jika diletakkan dalam lingkup
komunikasi khsusnya industri media massa, maka yang dimaksud dengan
produksi adalah surat kabar, buku, video, film dan sebagainya.
Produk-produk inilah yang menjadi sumber (resources) yang distribusikan
dan kemudian dikonsumsi oleh massa. Rangkaian produksi, distribusi,
dan komsumsi dalam sebuah industri media ditentukan oleh relasi yang
melibatkan pihak pengelola media, pihak pemodal atau kapitalis
(penguasa dalam arti ekonomi bisnis) dan negara atau lebih tepatnya
pemerintah (penguasa dalam arti politis).
Perspektif Ekonomi Politik Dalam Bingkai MoscoSebenarnya
pendekatan ekonomi politik sendiri merupakan bagaian dari disiplin
ilmu yang berkembang sejak abad 18 terutama sebagai respon terhadap
akeselarasi kapitalis. Ekonomi politik kritis adalah varian studi
ekonomi politik yang mencoba bersikap kritis terhadap proses-proses
liberal dengan mengedapankan aspek-aspek moral dan etika sosial. Untuk
bisa melihat ekonomi politik dalam media, Golding Murdok melakukan
dengan pendekatan pada tiga karakter sentral. Pertama, pendekatan
ekonomi bersifat holistik.
Holistik disini lebih menekankan pada
hubungan antara dinamika sosial, politik dan budaya dalam masyakat
serta menghindari kecendrungan untuk mengabstraksi relasitas sosial
kedalam toeri ekonomi atau teori politik. Kedua, pendekatan kritis
ekonomi politik bersifat historis. Bukan hanya berkaitan dengan fokus
perhatian terhadap proses dan dialektik sejarah melainkan secara
memadai bagaimana perubahan dan dialektika yang terjadi berkaitan
dengan posisi dan peranan media komunikasi dalam sistem kapitalis
global. Ketiga, pendekatan kritis eknomi politik bersifat praksis.
Pendekatan praksis memadang pengetahuan dalah produk dari interaksi
dan dialektika antara teori dan praktik secara terus menurus.
Sementara
Mosco dalam bukunya The Political Economy Of Cummunication (1996: 13)
merumusan tiga karakter dalam pemahaman eknomi politik yakni realis,
inklusif dan kritis. Dalam pemahanam realisme ini dapat dijelaskan
pengaruh eknomi politik kritis sangat menghindari ketergantungan
ekslusif terhadap teori abstak dan deskrpsi empiris (ekonomi politik
dalam hal ini memberikan bobot yang sama terhadap pertimbangan
teoritis dan empiris). Sementara inklusif berasal dari kesadaran bahwa
kehidupan sosial yang tidak dapat dirangkum kedalam suatu teori.
Tidak ada pendaketan yang paling tepat dan paling mendekati ideal
dalam studi ekonomi politik komunikasi. Studi ekonomi politik sangat
terbuka terhadap perdebatan-perdebatan multi perpektif dan lintas
disiplin. Sementara watak atau sifat kritis ekonomi politik mewujud
pada kepekaan terhadap berbagai bentuk ketimpangan ketidakadailan.
Ekonomi politik memberi perhatian besar terhadap faktor ideologis dan
politis yang pengaruhnya bersifat laten terhadap masyrakat.
Moscow
juga menjelaskan, usaha untuk memahami proses relasional antara
ideologi, media massa dan ekonomi politik media termasuk dalam kategori
perspektif ekonomi politik. Vincent Mosco menyebutkan bahwa:
”…Ekonomi
politik komunikasi berupaya menjadikan media bukan sebagai pusat
perhatian, dengan konsentrasi lebih diarahkan pada kajian mengenai
keterkaitannya dengan ekonomi, politik dan faktor-faktor lainnya.
Menjadikan media bukan sebagai pusat perhatian berarti memandang sistem
komunikasi sebagai terintegrasi dengan proses ekonomi, politik,
sosial, dan budaya fundamental dalam masyarakat.”Sebenarnya,
perhatian ekonomi politik diarahkan pada kepemilikan, kontrol serta
kekuatan operasional pasar media. Dari titik pandang ini, institusi
media massa dianggap sebagai sistem ekonomi yang berhubungan erat
dengan sistem politik. Karakter utama pendekatan ekonomi politik
adalah produksi media yang ditentukan oleh: pertukaran nilai isi media
yang berbagai macam di bawah kondisi tekanan ekspansi pasar dan juga
ditentukan kepentingan ekonomi-politik pemilik modal dan pembuat
kebijakan media. Berbagai kepentingan tersebut berkaitan dengan
kebutuhan untuk memperoleh keuntungan, sebagai akibat dari adanya
kecenderungan monopolistis dan proses integrasi, baik secara vertikal
maupun horisontal.
Semantara itu secara makro, Peter Golding dan
Graham Murdock (dalam Curran dan Gurevitch, 1991:15 – 32) menunjukkan
bahwa perspektif ekonomi politik komunikasi massa bisa dibedakan
menjadi dua macam paradigma yaitu perspektif ekonomi politik dalam
paradigma liberal; dan perspektif ekonomi politik dalam paradigma
kritis.
Perspektif ekonomi politik liberal berpusat pada isu
proses pertukaran pasar di mana individu sebagai konsumen mempunyai
kebebasan untuk memilih komoditas-komoditas yang sedang berkompetisi
berdasarkan manfaat dan kepuasan yang ditawarkannya. Semakin besar
kekuatan pasar memainkan perannya, semakin besar kebebasan konsumen
untuk menentukan pilihannya.
Perspektif ekonomi politik liberal
berpusat pada isu proses pertukaran pasar di mana individu sebagai
konsumen mempunyai kebebasan untuk memilih komoditas-komoditas yang
sedang berkompetisi berdasarkan manfaat dan kepuasan yang
ditawarkannya. Semakin besar kekuatan pasar memainkan perannya,
semakin besar kebebasan konsumen untuk menentukan pilihannya.
Dalam
perspektif ekonomi politik kritis, perspektif ekonomi politik
mengikuti Marx untuk memberikan perhatian pada pengorganisasin properti
dan produksi pada industri budaya ataupun industri lainnya, bukannya
pada proses pertukaran sebagaimana dilakukan liberalisme. Perspektif
ini tidak mengabaikan pilihan-pilihan yang dibuat oleh produsen maupun
konsumen industri budaya, akan tetapi apa yang dilakukan oleh
produsen dan konsumen itu dilihat dalam struktur yang lebih luas lagi.
Golding
dan Murdock menempatkan perspektif ekonomi politik media pada
paradigma kritis. Golding dan Murdock berpendapat bahwa perspektif
ekonomi politik kritis berbeda dengan arus utama dalam ilmu ekonomi
dalam hal holisisme, keseimbangan antara usaha kapitalis dengan
intervensi publik; dan keterkaitan dengan persoalan-persoalan moralitas
seperti masalah keadilan, kesamaan, dan kebaikan publik (public
goods).
Analisa ekonomi politik kritis memperhatikan perluasan
“dominasi” perusahaan media, baik melalui peningkatan kuantitas dan
kualitas produksi budaya yang langsung dilindungi oleh pemilik modal.
Tentu saja, ekstensifikasi dominasi media dikontrol melalui dominasi
produksi isi media yang sejalan dengan preferensi pemilik modal.
Proses komodifikasi media massa memperlihatkan dominasi peran kekuatan
pasar (dalam penelitian ini terlihat faktor militer yang menentukan
makna dan isi pasar). Proses komodifikasi justru menunjukkan
menyempitnya ruang kebebasan bagi para konsumen media untuk memilih
dan menyaring informasi.
Dalam konstatasi di atas, maka tidak
mengherankan apabila peran media di sini justru menjadi alat
legitimasi kepentingan kelas yang memiliki dan mengontrol media
melalui produksi kesadaran dan laporan palsu tentang realitas objektif
yang sudah bias karena dibutnuk oleh kelompok kepentingan baik secara
politik maupun ekonomis. Perjuangan kelas biasanya didasarkan pada
antagonisme ekonomi-politik. Posisi dan peran media adalah menutupi
dan merepresentasi secara bias dan manipulatif antagonisme tersebut.
Ideologi dimanfaatkan untuk menghapus dan mengeliminasi perjuangan
kelas. Kontrol atas kelas dibuktikan dengan mencocokkan ideologi yang
tersirat dalam pesan media dengan kepentingan kelas yang dominan.
Perspektif
ekonomi politik kritis juga menganalisa secara penuh pada campur
tangan publik sebagai proses legitimasi melalui ketidaksepakatan
publik atas bentuk-bentuk yang harus diambil karena adanya usaha kaum
kapitalis mempersempit ruang diskursus publik dan representasi. Dalam
konteks ini dapat juga disebut adanya distorsi dan ketidakseimbangan
antara masyarakat, pasar dan sistem yang ada.
Sedangkan
kriteria-kriteria yang dimiliki oleh analisa ekonomi politik kritis
terdiri dari tiga kriteria. Kriteria pertama adalah masyarakat
kapitalis menjadi kelompok (kelas) yang mendominasi. Kedua, media
dilihat sebagai bagian dari ideologis di mana di dalamnya kelas-kelas
dalam masyarakat melakukan pertarungan, walaupun dalam konteks dominasi
kelas-kelas tertentu. Kriteria terakhir, profesional media menikmati
ilusi otonomi yang disosialisasikan ke dalam norma-norma budaya
dominan.
Perspektif ekonomi-politik kritis memiliki tiga varian
utama. Ketiga varian tersebut adalah instrumentalisme, kulturalisme,
dan strukturalisme. Dalam penelitian ini, varian yang digunakan adalah
perspektif instrumentalisme. Perspektif ini memberikan penekanan pada
determinisme ekonomi, di mana segala sesuatu pada akhirnya akan
dikaitkan secara langsung dengan kekuatan-kekuatan ekonomi. Perspektif
ini melihat media sebagai instrumen dari kelas yang mendominasi. Dalam
hal ini kapitalis dilihat sebagai pihak yang menggunakan kekuatan
ekonominya - untuk kepentingan apapun - dalam sistem pasar komersial
untuk memastikan bahwa arus informasi publik sesuai dengan
kepentingannya.
Dengan melihat kondisi diatas, revolusi
perkembangan teknologi media massa mampu menunjukkan bahwa media massa
pada akhirnya mencapai puncak perkembangan sebagai lembaga kunci
dalam masyarakat modern. Media massa dapat tampil mempresentasikan
diri sebagai ruang publik utama yang mampu menentukan dinamika sosial,
politik dan budaya baik dalam lingkup lokal maupun secara global.
Media massa yang dinyatakan lahir dari sebuah kapitalis modern ini
tidak hanya digunakan sebagai medium untuk mengantarkan pesan antara
pengirim dan penerima (komunikan) tetapi dapat berfungsi sebagai alat
penundukan dan pemaksaan konsesus oleh kelompok secara ekonomi dan
politik dominan. Media massa juga turut menyebarkan atau memperkuat
struktur eknomoi politik tertentu selain menjalankan sebuah ideologis
tertentu. Melalui kepemilikan dan produk-produk yang disajikan
inilah, media menjadi sebuah perangkat ideologis yang melanggengkan
dominasi kelas pemodal terhadap publik yang diperlakukan sebagai
konsumen semata dan terhadap pemegang kekuasaan untuk memuluskan
lahirnya regulasi-regulasi yang pro pasar (Sudibyo: 2004)
Seperti
dijelaskan diatas, hadirnya media massa ternyata tidak hanya
dimanfaatkan sebagai media penghantar pesan saja tetapi, media massa
juga dipergunakan sebagai medium efektif pengiklan utama yang secara
signifikan mampu mendorong penjualan produk dan jasa. Bahkan media massa
juga mampu menghasilkan surplus dengan menjalankan peran penghubung
antara produksi dan konsumsi. Media massa disini, tidak hanya memiliki
fungsi sosial dan ekonomi, tetapi juga menjalankan fungsi ideologis
sehingga diperlukan berbagai pendekatan tidak hanya dari sisi ekonomi
tetapi juga politik atau biasa disebut dengan pendekatan ekonomi
politik.
Selain dikemukan diatas, untuk bisa mempelajari dalam
ada 2 hal yakni spasialisasi berhubungan dengan proses pengatasan atau
paling tepat dikatakan sebagai transformasi batasan ruang dan waktu
dalam kehidupan sosial. Dapat dikatakan juga bahwa spasialisasi
merupakan proses perpanjangan institusional media melalui bentuk
korporasi dan besarnya badan usaha media (Mosco, 1996). Ukuran badan
usaha media dapat bersifat horizontal maupun vertikal. Horizontal
artinya bahwa bentuk badan usaha media tersebut adalah bentuk-bentuk
konglomerasi, monopoli. Proses spasialisasi yang bersifat vertikal
adalah proses integrasi antara induk perusahaan dan anak perusahaannya
yang dilakukan dalam satu garis bisnis untuk memperoleh sinergi,
terutama untuk memperoleh kontrol dalam produksi media.
Semantara,
strukturasi berkaitan dengan hubungan antara gagasan agensi, proses
sosial dan praktek sosial dalam analisa struktur. Strukturasi
merupakan interaksi interdependensi antara agen dengan struktur sosial
yang melingkupinya (Mosco, 1996). Strukturasi mengandung tiga dimensi
penting diantaranya, pemahaman (interpretation / understanding), yaitu
menyatakan cara agen memahami sesuatu; moralitas atau arahan yang
tepat, yaitu menyatakan cara bagaimana seharusnya sesuatu itu
dilakukan; kekuasaan dalam bertindak, yaitu menyatakan cara agen
mencapai suatu keinginan.
Tiga dimensi strukturasi tersebut
mempengaruhi tidakan agen. Tindakan agen diperkuat oleh struktur
pemahaman, moralitas, dan kekuasaan. Dalam hal ini agen menggunakan
aturan-aturan untuk memperkuat tindakannya. Dalam satu kelompok yang
telah terbentuk strukturnya, masing-masing individu saling
membicarakan satu topik tertentu. Dalam strukturasi, hal ini tidaklah
direncanakan dan merupakan konsekuensi yang tidak diharapkan dari
perilaku anggota-anggota kelompok. Norma atau aturan yang ada
diinterpretasi oleh tiap individu dan menjadi arahan tingkah laku
mereka. Kekuatan yang mereka miliki memungkinkan mereka untuk mencapai
tujuan dan mempengaruhi tindakan orang lain.
KesimpulanKritikan
terhadap acara televisi saat ini adalah tidak adanya siaran yang
mendidik. Mulai dari sinetron hingga reality show, meski sedikit yang
memberikan nilai pendidikan. Kemiskinan sebenarnya tidak layak
dijadikan alat untuk mencari keuntungan segelintir orang, apalagi jika
menimbulkan efek pengharapan orang miskin lain yang membuat mereka
tidak produktif dan akhirnya bisa mengalami stress karena pengharapan
yang tak kunjung datang tersebut. Menikmati siaran yang mengangkat
kemiskinan mungkin baik jika hasilnya adalah tumbuh empati dan rasa
ingin membantu. Namun jika tidak, tentu tetap tidak perubahaan pada
bangsa ini. Kemiskinan kurang pantas dijadikan komoditas mencari
keuntungan. Dan menjadi tidak pantas jika hanya sekedar menikmati
tanpa timbul rasa empati atau keinginan untuk menolong.
Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) dimungkinkan sekali turut melakukan
pengawasan tentang program acara yang di televisi. Selama ini KPI baik
yang dipusat atau Daerah dianggap lalai untuk melakukan kritik terhadap
media massa yang terlalu berlebihan disuguhkan kepada masyarak tidak
hanya kemiskinan tapi juga pada sejumlah program acara yang cukup
berlebihan seperti kriminal dan acara pada bulan ramadhan yang terlalu
‘over acting’. Tidak hanya itu, pemilik televisi saat ini juga jauh
lebih mementingkan keniakan rating dan keuntungan sebesar-besarnya
daripada manfaatkan yang bisa diambil untuk masyrakat. Kepentingan
ekonomi masih menjadi prioritas para pemilik media massa.